INDAHNYA ISLAM

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).


Senin, 22 Agustus 2011

Tiga Jalan Menuju Kesesatan

Diposting oleh Yusuf shadiq



Ulama terkemuka dari India (Pakistan), Abul ‘Ala Maududi menjelaskan, dari mana sebenarnya kekufuran dan kesesatan (bid’ah) itu timbul? Al-Qur’anul Karim menegaskan, bahwa kejahatan-kejahatan itu muncul melalui tiga sumber :

Pertama, mengikuti kemauan sendiri.

Al-Qur’an menyatakan, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Qur’an : 28 : 50).

Ayat diatas mengartikan bahwa faktor terbesar penyebab kesesatan manusia adalah dorongan-dorongan hawa-nafsunya sendiri. Dan sama sekali tidak mungkin seseorang untuk menjadi hamba Allah, sementara ia masih menuruti dorongan-dorongan hawa nafsunya. Ia akan terus menerus memikirkan pekerjaan apa yang mendatangkan uang baginya, usaha apa yang akan membawa kemasyhuran dan penghormatan orang kepadanya, kemanapun ia harus mengejar kesenangan dan kepuasan, dan apa saja yang bisa memberikan kemudahan dan kenikmatan hidup baginya. Pendeknya, manusia akan dengan segala macam cara untuk mencapai tujuan itu.

Ia tidak akan pernah mengerjakan suatu apapun yang dianggapnya tidak akan membawa tercapainya tujuan-tujuan itu berupa kenikmatan dunia. Meskpun, Allah memerintahkannya lebih memilih jalan menuju kemuliaan di akhirat. Tetapi itu tidak pernah didengarnya lagi. Jadi Tuhan bagi orang seperti itu adalah dirinya (nafs), bukannya Allah Yang Agung. Jadi, bagimana ia akan mendapat manfaat dari petunjuk Allah?

Al-Qur’an menegaskan, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalan (dari binatang ternak itu)”. (Qur’an : al-Furqan : 43-44)

Menurut Al-Maududi, bahwa menjadi budak hawa nafsu lebih jelek dibanding menjadi binatang. Ini adalah tidak diragukan lagi. “Anda tidak akan pernah melihat seekor binatang pun yang mau melanggar batas-batas yang telah ditentukan Allah baginya”, ucap al-Maududi. Binatang hanya melaksanakan fungsi yang telah ditentukan Allah baginya. Tetapi, manusia adalah binatang yang apabila sudah menjadi budak hawa nafsunya sendiri, dan bahkan akan melakukan perbuatan yang membuat syetan sendiri gemetar.

Kedua, mengikuti nenek-moyang tanpa berpikir.

Jalan kedua adalah mengikuti adat kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan dan pikiran-pikiran, ritus-ritus dan upacara-upacara yagn biasa dilakukan nenek-moyang, atau seorang ulama mereka. Mereka menganggap lebih penting daripada perintah Allah. Apabila perintah Allah dibacakan, maka orang-orang yang suka mengekor kepada nenek moyang (termasuk ulama mereka), maka mereka akan bersikeras bahwa mereka hanya akan mengikuti apa yang dilakukan nenek moyang mereka yang telah menjadi kebiasaan (habid). Bagaimana mungkin orang yang seperti ini akan menjadi hamba Allah?

Tuhan-Tuhan mereka adalah nenek-moyang mereka. Hak apa yang dimilikinya untuk mendakwakan bahwa dirinya adalah seorang muslim?

Al-Qur’an berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah’, mereka menjawab: (Tidak), tetap kami hanya mengikuti apa yagn telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatupun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Qur’an : 2: 170)

“Apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek-moyang mereka walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu , tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepda Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qur’an : 5: 104-105)

Jahatnya kesesatan itu adalah sedemikian rupa, sehingga semua orang bodoh di setiap zaman terkena cengkeramannya. Kesesatan selamanya mencegah mereka mendapatkan bimbingannya dari utusan-utusan Allah. Seperti halnya, Ibrahim alaihi salam, membujuk kaumnya untuk meninggalkan kepercayaan syirik, “Mereka menjawab : “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya (patung-patung)”. (Qur’an : 21 : 25).

Manusia harus memilih salah satu satu. Tidak mungkin berdampingan antara berhala-hala itu dengan Allah. Antara kesesatan yang menyembah berhala, dan mereka yang berorientasi kepada al-haq Allah Rabbul alamin.

Ketiga, kepatuhan kepada selain Allah.

Jalan yang ketiga, seperti dinyatakan oleh al-Qur’an, adalah apabila manusia mengesampingkan perintah-perintah Allah, lalu mentaati perintah-perintah manusia dengan bermacam-macam alasan, seperti misalnya, “Karena bapak fulan adalah seorang besar, maka kata-katanya mestilah selalu baik dan harus kita ikuti’, atau ‘Karena rezeki saya bergantung pada orang itu, maka saya harus patuh kepadanya’, atau ‘karena orang mampu menghancurkan hidup saya dengan kutukannya, dan mampu menjamin saya masuk surga, maka apa yang dikatakannya pasti benar’ atau ‘bangsa anu bangsa besar adalah bangsa yang maju, kita harus meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya, dan meniru cara hidupnya”. Dengan alasan-alasan seperti itu, maka tertutup lah pintu petunjuk Allah.

Al-Qur’an berfirman : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah .. “ (Qur’an : 6 : 116)

Ayat ini mempunyai arti bahwa manusia hanya bisa tetap berada di jalan yang benar, bila ia mempercayakan diri seratus persen, secara totalitas hanya kepada Allah Ta’ala. Bagaimana bisa menemukan jalan kemuliaan kalau manusia mempercayakan diri kepada salain Allah. Hidupnya tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan.

Demikian pendapat dan pandangan Abul ‘Ala Maududi, seorang ulama besar yang lahir di anak benua India, yang sekarang sebagian menjadi Pakistan.

0 komentar:

Posting Komentar