INDAHNYA ISLAM

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).


Senin, 10 Oktober 2011

Cara Mudah Berdakwah

Diposting oleh Yusuf shadiq
Tanya : Saya mulai terbuka hati menerima Islam, mulai bersedia meninggalkan sikap bermain main, tidak serius dalam beragama semenjak saya mendengar dakwah dakwah yang menyentuh dari beberapa orang da’i. Bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran tadi, ketika diri tengah terus melangkah di perjalanan [sabilillah], saya terkenang teman teman lama yang dulu seia sekata dalam kejahiliyyahan, saya telah tertolong, tapi bagaimana dengan mereka. Saya ingin berdakwah, tapi apa yang harus saya katakan, harus dari mana memulainya ??
  • Al Quran memberikan panduan dalam S.6:70, bagi para pemula yang baru saja meninggalkan kehidupan yang serba tidak serius dengan Islam adalah : tidak kembali dulu kelingkungan itu [Tinggalkanlah orang orang yang menjadikan agama mereka sebagai main main dan senda gurau serta mereka tertipu oleh kehidupan dunia]. Walaupun tentu meninggalkan di sini bukan berarti untuk selama lamanya, setelah beberapa waktu, setelah si pemula tadi pun mulai kokoh aqidah, amal dan akhlaqnya, maka ia harus kembali pada lingkungan lama tadi untuk mengingatkan [dan ingatkanlah mereka dengan Al Quran agar jangan sampai ada jiwa yang masuk neraka karena kegegabahan perbuatannya]. Walaupun khithob adalah Nabiyulloh Muhammad SAW, namun tentu hikmah pelajarannya buat kita semua para pembaca Al Quran.
  • Menjawab pertanyaan di atas : Saya ingin berdakwah, tapi apa yang harus saya katakan, harus dari mana memulainya ?? Maka mulailah dari diri sendiri [kata nabi Ibda binafsika !] disiplinkan diri dengan kebenaran yang telah diperoleh, setelah tiba pada tingkat kekokohan tertentu, yakin diri tidak akan terbawa bawa lagi arus buruk masa lalu, datangilah kawan kawan lama anda itu. Anda sudah punya jalan untuk menyampaikan Quran kepadanya [pernah kenal], namun ingat yang diutarakan jangan pendapat pribadi, keinginan sendiri, apalagi kebencian diri tapi fadzakkir bihi [Ingatkan mereka dengan Al Quran]. Insya Alloh kalaupun ada penolakan tidak akan frontal, karena dalam kasus ini yang berbenturan bukanlah “keinginan anda dan maunya dia” tetapi orang tersebut belum siap untuk selaras dengan firman pencipta dirinya sendiri ! Kita sendiri tidak akan tersinggung tokh bukan kata kata kita yang didustakannya.
  • Misalnya mulailah dengan pengalaman rohani anda sendiri, misalnya dengan berkata : “Setelah dijalani sekian lama, ternyata dirasa rasa apa yang saya lakukan selama ini hanya membunuh masa depan saya sendiri. Baik masa depan dunia, apalagi nasib saya di akhirat kelak. Kalau terus terusan begitu, entah bagaimana nasib anak anak saya nanti, kelakuannya, akhlaqnya, apakah mereka akan menghormati ayahnya jika saya sudah tua renta dan tidak sejagoan ini lagi. Dan ketika saya membaca Al Quran ternyata kehidupan seperti itu hanyalah …………..” Lakukan seperti itu berulang ulang dalam setiap kesempatan yang memungkinkan, bila ada perubahan pada dirinya Alhamdulillah, diakhirat anda akan mendapat bonus yang “lebih baik dari dunia dan isinya” Bila tidak berubah, anda pun jangan marah, tokh orang yang lebih mulia dari anda pun, yang tidak pernah berkubang dalam dosa [Nabi Muhammad SAW] beliau diperintah hanya sebagai juru ingat, sama sekali bukan pemaksa atas manusia [S.88:21-22]. Yang penting anda jangan lagi seperti mereka [S.5:105].
  1. Tanya : Mengapa saya harus berdakwah, tidakkah cukup dengan tanggung jawab saya atas diri saya sendiri ? Sekarang saya sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Ini saja memerlukan disiplin diri yang kuat, penjagaan yang ketat, kalau saya berdakwah apa malah tidak jadi terpecah konsentrasi ? Saya harus jaga diri, ditambah lagi dengan menjagai prilaku orang lain …..
  • Kita akui bahwa sebelum ini, kita sempat berkecimpung dalam kelalaian dan kekeliruan, tidakkah kita khawatir kalau kalau ada diantara manusia yang sekarang berbuat ma’shiyyat justru karena terilhami oleh prilaku kita yang dulu dulu ketika masih bersama mereka ? Tidak mustahil ada yang berani berbuat dosa justru karena kita pernah memperbuatnya. Bila ini terjadi, berarti ada atsar buruk -bekas langkah kita- yang masih tercecer dan terus mengalir. Ada amal jariyah [amal yang mengalir] yang bila tidak segera dihentikan akan terus menerus menambah berat timbangan keburukan kita, sebab walaupun kita telah berhenti berbuat, tetapi atsar ini tetap ditulis juga sebagai bagian dari yang harus kita pertanggung jawabkan. Perhatikan Surah Yaasiin [36] : 12 “…dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas bekas yang mereka tinggalkan …”
  • Shahabat ‘Umar ra nampaknya menyadari penuh akan bahayanya atsar buruk ini, dari itu tercatat dalam sejarah, setelah beliau masuk Islam, maka di tempat tempat mana dulu ia pernah berbuat dosa, beliau kunjungi kembali seraya mengumumkan keislamannya dan mengajak orang kepada Islam. Ini merupakan salah satu contoh kegigihan menghapus bekas [Atsar] tadi
  • Dengan demikian, berdakwah sebenarnya bukan “mengurusi orang lain”. tapi membenahi diri sendiri, jangan sampai ada bekas kejelekan diri yang belum disumbat hingga jadi amal jariyah negatif seperti diulas di atas.
  • Dakwah pun merupakan usaha kita membebaskan diri dari terlibat dalam ma’shiyyat yang terjadi di depan mata kita. Dinyatakan dalam sebuah hadits shohih bahwa di akhirat nanti akan ada orang yang menarik tangan kita dan berkata : “Ya Alloh inilah yang telah mencelakakan saya” Kita mengelak dan berkata : “Bagaimana mungkin saya mencelakakannya padahal saya tidak mengenal dia” Ia akan bilang “Benar Ya Alloh, dia tidak kenal akrab dengan saya, tapi dia pernah melihat saya berbuat dosa, dan tidak menegur kesalahan saya itu, andai ia mengingatkan tentu saya tidak akan berketerusan dalam ma’shiyyat”. Kita tidak bisa mungkir lagi sebab filem ketika peristiwa itu terjadi bisa ditayang ulang, sehingga akhirnya kita akan terpojok ketika ditanya : “Mengapa kamu melihat dia berdosa engkau biarkan …?”
  • Menghayati surat Al A’raf 164 – 165 [silahkan baca dan telusuri tafsirnya di kitab kitab tafsir] menyampaikan kita pada sebuah kesimpulan, bahwa nasib diri kita begitu terancam di akhirat, sudah harus mempertanggung jawabkan kekeliruan sendiri [sebagai manusia, kecil atau besar kita tak pernah luput dari kesalahan] ditambah lagi dengan “ditarik tarik tangan orang” , yang kebetulan di dunia pernah berbuat salah di depan kita dan kita tak berani mendakwahinya …… Kita punya hutang dakwah kepada semua wajah yang pernah kita lihat, yang ketika dirinya tampak di depan kita, kita tahu ia tengah melakukan kekeliruan. Kita tidak bisa menutup mata yang sebelah lagi untuk urusan ini. Sebab bila selama ini kita ‘menutup sebelah mata’ dengan kema’shiyyatan yang melanda, maka bila kita tutup sebelah lagi [dengan tidak mau belajar dakwah, walaupun hanya lewat obrolan] maka kita sendiri akan menjadi buta !
  • Dakwah bukanlah menjagai orang lain, tapi memelihara diri sendiri. Ini perlu dicamkan, sebab selama ini banyak orang yang menyamakan arti dakwah dengan “usilan atau memaksa orang seperti maunya kita”. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dengan melakukan amal dakwah yaitu
  • Kita ter________________tan karena telah mengingatkan orang [S.7:164 - 165] addapun soal takwa dan tidaknya yang didakwahi itu urusan kedua [ma’dzirotan ilaa robbikum, itu yang pertama, baru wa la’allahum yattaquun]. Lihat pula S.6:69
  • Dimasukkan dalam golongan Ulul Baqiyyah yang dijanjikan beroleh keselamatan, sedang acuh tak acuh dengan dakwah, mementingkan diri sendiri, terancam dapat gelaran dzalim, yaitu mereka yang hidup hanya mementingkan kemewahan dan kesenangan hidup duniawi [lihat S.11:116]
  • Ikut serta mencegah terjadinya fitnah [kemelut, rusaknya agama, tersebarnya bencana] yang bila itu terjadi, tidak hanya orang dzalim saja yang terkena, termasuk pula orang yang baik baik yang tadinya acuh tak acuh dengan dakwah ! Lihat S.8:25
  • Dakwah tidak memecahkan konsentrasi kita dalam berdisiplin melaksanakan tha’at justru menambah maraknya suasana jiwa kita dalam berislam. Mengapa ? sebab bukan hanya dilaksanakan tapi kita pun terus menerus membicarakannya. Minimal bila suatu sa’at datang malasnya, kita pun akan tertagih dengan kata kata sendiri. Bukankah ini menguntungkan ?? Daripada sudah diri tidak mengerjakan, kita pun tak pernah pula membicarakan. Apa tidak malah keterusan lupanya ?? Bukankah malu dan iman itu dua bagian yang tak terpisahkan [ Al Hadits], bila satu hilang yang satunya pun terancam segera sirna. Banyak membicarakan kebaikan, membuat kita semakin terikat dengan tuntutan untuk konsekwen, ada rasa malu bila diri sendiri tidak melaksanakan. Dari sudut ini, malu oleh kata kata sendiri adalah pelindung iman terakhir agar tidak cepat menguap.
  1. Saya malu berdakwah, kelakuan saya sendiri masih amburadul. Saya takut terkena murka, Apa artinya bicara baik bila diri sendiri masih berantakan.
  • Siapa yang memberi tahu anda bahwa bicara baik itu tidak ada artinya ?? Bicara baik itu sudah bagian dari tanda iman [man kaana yukminu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khoiron au liyasmut HR. Bukhori] bila begitu menurut nabi, terus siapa yang berani mengatakan bicara baik tak berarti ?? Ini saya tegaskan agar sikap perfeksionis [prinsip jika tidak sempurna lebih baik tidak] yang menghambat potensi dakwah ummah tidak merebak luas. Bila diukur / dibandingkan antara tingkat bahayanya orang yang kelakuannya baik tapi bicaranya salah dengan orang yang kelakuannya buruk tapi pembicaraannya baik, maka daya rusaknya terhadap ummat, yang lebih berbahaya adalah mereka yang manis tingkah lakunya, mempesona akhlaqnya, tapi dari mulutnya keluar fatwa yang salah. Orang percaya dan mengikuti sebab tertarik dengan pribadinya, namun hasilnya Islam dirugikan [Ingat kasus Ulamaus syu’]. Adapun orang yang kelakuannya buruk, sedang perkataannya baik, resiko bagi masyarakat paling paling cuma sekedar “tidak ada yang mau percaya”.
  • Bagaimana pendapat anda terhadap seorang muslimah yang menunda pelaksanaan kewajiban berjilbab, dengan alasan kelakuannya masih belum baik, ilmunya masih kurang, belum bisa ngaji dsb dsb. Tentu anda tidak bisa menerimanya bukan ? Sebab Jilbab adalah sebuah kewajiban, sedang memelihara akhlaq dan meningkatkan ilmu adalah sebuah kewajiban lain pula. Yang sempurna tentu si muslimah tadi menutup aurotnya dan baik kelakuannya, artinya kedua hutang kewajiban tadi lunas kedua duanya. Bila muslimah tadi hanya baik kelakuannya, tapi tidak menutup aurot, ia lunas satu hutang, tinggal berusaha membayar yang satunya lagi. Atau bila ia telah menutup aurot, sedang ilmu dan amal lainnya belum sebaik pakaiannya, berarti baru lunas satu kewajiban saja, tinggal bagaimana caranya ia berusaha melunasi yang satunya lagi. Sebaliknya kalau sudah kelakuan belum baik, berkerudung pun tidak [dengan alasan percuma berkerudung juga, tokh kelakuan saya masih jelek] berarti dia punya dua hutang sekaligus ! Malah kalau ada orang yang baik dan menarik akhlaqnya, tapi tidak menutup aurot jadi berbahaya bagi kewibawaan hukum Islam sendiri. Orang yang kagum dan hormat pada kebaikan akhlaq wanita tadi, dengan mudah segera mengambil kesimpulan “Ooh berarti jilbab itu tidak wajib, buktinya dia yang begitu dalam ilmunya dan begitu baik akhlaqnya pun tidak pernah ribut soal busana muslimah … ” Mana yang lebih berbahaya bagi kewibawaan hukum ? Yang berbusana muslimah, tapi akhlaqnya belum baik, atau yang baik akhlaqnya tapi belum berbusana muslimah ? Yang pertama paling paling cuma jadi bahan ejekan [alaa ..h ngapain pake pakaian begitu, kelakuannya aja … ]artinya cuma satu pribadi itu saja yang bermasalah. Tapi untuk kasus kedua, bisa jadi preseden bagi orang awwam bahwa ternyata dalam Islam busana muslimah bukan perkara besar, tokh si anu pun yang segalanya jauh lebih baik dari kita tidak ribut soal itu… Saya melihat justru kasus kedua bukan lagi kasus pribadi, tapi bisa mengganggu daya cengkram hukum Islam dalam masyarakat muslimin. Persis seperti yang terjadi hari ini ….
  • Kembali pada masalah enggan berdakwah, dalam arti mengkomunikasikan kebenaran, hanya karena malu, terhalang oleh kelakuan sendiri yang belum baik tadi. Seperti kasus busana muslimah dan akhlaq, sebenarnya antara dakwah dan amal sholeh adalah dua kewajiban yang jadi hutang kita bersama. Amar makruf nahyi mungkar adalah wajib bagi setiap muslim, pada tingkat apapun keadaan amal dia sebagaimana beramal sholeh adalah wajib, tak peduli serendah apapun kemampuan dia berkomunikasi. Bagi yang sudah baik amalnya malah tidak ada alasan lagi untuk tidak berdakwah. Sedang bagi yang amalnya masih tercampur [antara baik dan buruk] semoga dengan diawali oleh baiknya perkataan, kelakuannya pun menjadi baik pula bersama sama dengan orang yang diajaknya, Aamiin.
  1. Tanya : Bagaimana dengan ayat yang mengancam keras orang orang yang mengatakan sesuatu sedang dia tidak memperbuatnya [S.61:2-3]. Begitu pula dengan celaan atas orang yang menyuruh fihak lain berbuat baik sedang dirinya sendiri dibiarkan [S.2:44].
  • Perlu difahami bahwa ayat itu bukan bermakna melarang dakwah, tetapi kecaman keras dan peringatan tegas bagi pengelabuan, penipuan yang dilakukan dengan cara cara memanipulasi kata kata. Contoh, ada orang yang berusaha membentuk citra baik di depan orang lain, dengan mengiklankan perbuatan perbuatan baik, memperkatakan amal amal sholeh, dengan harapan orang jadi percaya bahwa dia ahli dalam kebaikan itu. Ini jelas penipuan, orang yang begini tidak akan lepas dari siksa neraka ! Lihat S.3:188. Jelas berbeda dengan orang yang memperkatakan kebaikan, mengkomunikasikan kebenaran dengan niat agar dirinya pun terkondisikan dengan kebaikan tadi.
  • Ayat ayat di atas bukan bermakna larangan bagi dakwah, tapi larangan jangan sampai orang berilmu memanipulasi ummat dengan kepintaran kata katanya, orang lain disuruh suruh, sedang dianya sendiri tidak mengerjakan, ia memperalat orang lain dengan ilmu [anda bisa menangkap adanya i’tikad tidak baik dalam kasus ini]. Artinya kalau sudah menyuruh orang, harusnya anda pun melaksanakan. Tetapi logika tadi jangan dibalik : “Karena tidak bisa melaksanakan, maka anda jangan menyuruh orang”.
  • Menganjurkan kebaikan tetap mendapat nilai, sepanjang tidak didorong dengan niat memanipulasi, menipu, menciptakan kesan palsu seperti yang telah dijelaskan di atas. Beberapa hadits mendukung pernyataan ini antara lain ; “Barangsiapa yang menganjurkan pada satu kebaikan, maka ia mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tanpa mengurangi pahala sipelaku tersebut.” Artinya kalau anda belum bisa mendapat pahala dengan mengerjakannya sendiri, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lewat cara menganjurkan orang lain untuk lebih dahulu memperbuatnya. Bagi anda yang telah bisa mengerjakannya, mengapa merasa cukup dengan satu pahala saja, tidakkah ingin berlipat ganda dengan cara menganjurkan orang lain melakukan apa yang telah anda kerjakan ??
  • Di dalam Al Quran, menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin adalah modal awwal untuk tidak dikatakan sebagai pendusta agama [S.107:1-3], diakhirat ada orang yang dirantai dengan rantai neraka sepanjang 70 hasta, diberi minum darah bercampur nanah, juga karena tidak mau menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin [S.69:31-37]. Perhatikan … menganjurkan orang lain memberi makanan jasmani kepada orang miskin saja sudah demikian besar nilainya, walaupun dianya sendiri tidak mampu memberikan makanan tadi. Sedang jika menganjurkan saja sudah tidak mau, kita lihat betapa mengerikan akibatnya.
  • Dakwah adalah menganjurkan orang lain berbuat baik, sama artinya dengan memberi dorongan, memberi energi agar orang itu mau melaksanakan kebaikan. Bila ini dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk membangun citra palsu, maka pasti baru berkata saja pun baik, apalagi bila ditambah dengan amalnya, Aamiin…
 Tanya : Bagaimana mungkin saya berdakwah, padahal ilmu saja masih kurang, saya perlu ditolong agar ilmu bisa bertambah, jiwa saya saja masih labil, pendirian belum teguh.
  • Ada satu ayat dalam Al Quran yang menjamin, bahwa pertolongan Alloh akan datang, kemudahan akan tiba, bahkan pendirianpun akan diteguhkan langsung oleh Alloh, kapan dan bilamana ? Ketika kita mau tampil menjadi pembela pembela agamaNya [lihat S.47:7]. Insya Alloh bagaimanapun keadaan awwal kita, mulai dari kurang ilmu, lemah keinginan, asalkan ikhlas punya keinginan untuk ikut serta membela agama Alloh ini, dibuktikan dengan keterlibatan aktif di dalamnya, maka kita akan dipandaikanNya terus setahap demi setahap, setingkat demi setingkat, hingga terampil kita membela dan menjalankan Al Islam ini sebagaimana seharusnya menurut Al Quran dan Al Haditsus Shohieh. Anda mau bukti ? Jadikanlah diri anda sebagai barang buktinya, silahkan, majulah ke depan, maka beranilah untuk mulai menerjunkan diri di bidang ini. Langkah pertama, pasti terasa berat, sebab syetan tidak ingin kubu dakwah Islam bertambah tenaga. Bagaimana dengan anda sendiri, tentu tidak sekeinginan dengan syetan bukan ? Dari itu buanglah rasa minder dan malu, lakukan apa yang bisa hari ini anda lakukan buat Islam, Yakin Alloh akan terus membimbing anda, Aamiin. Jadi kalau nunggu teguhnya, kapan mau teguh pendirian bila enggan turun ke gelanggang juang membela dakwah ini ?? sebab syarat peneguhan itu sendiri tidak dilengkapi ….
  1. Baiklah kini saya mengerti dan saya percaya bahwa kemampuan berdakwah itu tidaklah datang dengan ditunggu tapi mesti dicari di lapangan dakwah itu sendiri. Saya pun yakin bahwa keadaan diri pun akan diperbaikiNya, sepanjang niat tidak menipu dan tulus ingin baik. Saya bersyukur atas hadirnya orang yang pernah mendakwahi saya, hingga dengan itu saya selamat dari keterlenaan. Kini saya pun perlu bonus bonus tambahan, mengingat kurangnya amal amal saya, saya ingin ada orang lain yang mendapat hidayah Alloh lewat perantaraan usaha saya. Sebab Nabi SAW ada bersabda: “Bila satu orang saja mendapat hidayah dengan sebab perantaraan usahamu, bagimu pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya !” Tapi bagaimana yah, bukan tidak tertarik dengan pahalanya, cuma bagaimana memulainya. Kalau dakwah
    kan harus ada muqoddimahnya ….. Padahal saya paling terbata bata kalau membaca bahasa arab di depan umum
  • Baiklah kita clear
    kan dulu permasalahnnya, sekali lagi dakwah bukan hanya ceramah. Anda mengobrol, anda meminjamkan buku, anda bertanya di tengah majlis ta’lim tentang satu masalah, hingga jawabannya didengar orang banyak, anda ajak orang mengaji, ikut menghadiri ta’lim dsb dsb kesemuanya itu merupakan kontribusi [andil] anda dalam dakwah. Tapi kalau yang dimaksud dengan pernyataan di atas, bahwa anda sulit memulai untuk ceramah. Insya Alloh sandungan kecil ini dengan mudah kita atasi, biidznillah …..
  • Membuka ceramah prinsipnya hanya menyaratkan 3 hal saja : Hamdalah, syahadah dan sholawat. Anda memuji Alloh, anda umumkan keteguhan diri memegang prinsip dasar Islam, kemudian anda berdo’a untuk kemuliaan pemimpin pejuang, patriot teladan ummah Nabiyulloh Muhammad SAW. Asal anda jujur, tegas dan yakin, 3 hal ini saja akan mengangkat nilai, wibawa dan keyakinan diri anda di depan publik [umum]. Mengapa tidak ? Anda bukan akan membicarakan keperluan pribadi, anda tidak sedang membicarakan hasil pemikiran sendiri, tetapi anda tengah dan akan mengungkapkan konsep tertinggi di muka bumi, membawakan pesan Maharaja langit dan bumi, ditambah lagi bagi anda sendiri dijanjikan ridho dan pahala nan besar. Jika ini disadari, pasti semangat, dan isi bicara anda dengan sendirinya akan berbobot dan berkesan. Bukan hanya pada diri orang lain, tapi pada diri anda sendiri. Oh ya, saya ingatkan kembali, bukankah anda sedang menasehati diri anda pula ketika itu …. Hanya saja suaranya dikeraskan, sebab anda berharap bila ada orang yang ikut tergugah, sehingga kita pahala tambahan …. bonus yang lebih baik dari dunia dan isinya tadi !
  • Kalau pun yang anda ucapkan kalimat seperti ini : “Alhamdulillah, Asyhadu allaa ilaaha illalloh wa asyhadu anna Muhammadar Rosuululloh, Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad, saudara saudara sekalian ….’ Iru sudah cukup memenuhi syarat bagi ceramah Islam. simple saja bukan …..
  • Atau baik pula bila kita tambahkan setelah hamdalah itu beberapa nikmat Alloh yang dinyatakanNya lewat Al Quran. Bahkan redaksi muqoddimah tadi bisa kita selaraskan dengan materi yang hendak kita sampaikan, misalnya :
  • Bila yang hendak kita bicarakan, perkara iman, ketenangan hati, rumah tangga yang tentram misalnya, bisa kita cuplik sebagian dari S.48:4 menjadi Alhamdulillah Alladzi anzalas sakiinata fi qulubil mukminin liyazdaadu iimaanam ma’a iimaanihim, Asyahadu allaa ilaaha illaaloh dst dst [Segala puji bagi Alloh, yang telah menurunkan ketentraman pada jiwa jiwa orang mukmin, sgar bertambah imannya di samping imannya yang telah ada], Asyahadu anlaa ilaaha illalloh dst dst …
  • Bila yang hendak dibahas mengenai perjuangan Islam, usaha usaha membela agama, bisa kita cuplik sebagian dari S.9:33 menjadi : Alhamdulillahilladzi arsala Rosuulahu bil huda wa diinil haqqi liyudzhirohu ‘ala diini kullihi walau karihal musyrikuun, Asyhadu allaa ilaaha illalloh dst dst [Segala puji bagi Alloh yang telah mengutus RosulNya dengan petunjuk dan Dien yang benar, agar dimenangkanNya di atas segala Dien, sekalipun orang orang musyrik membenci] Asyhadu allaa ilaaha illalloh dst dst … …
  • Bila yang hendak kita ungkap adalah mengenai Al Quran, keajaibannya, tuntutan untuk diikuti, akibat tidak mengikuti Al Quran bisa kita gunakan kalimat hamdalah yang ada dalam S.18: 1-3
  • Anda akan terharu, mungkin gembira, tidak menyangka, betapa mudahnya kita membuat muqoddimah. Coba anda hapalkan aya ayat di atas, resapkan maknanya, ketika mula ceramah, sepenuh jiwa dan setulus konsentrasi, faham akan arti anda sambungkan ayat tersebut dengan hamdalah. Anda akan merasakan getaran ghaib dalam sukma yang terus menerus memberi warna dan ilham pada setiap yang anda katakan. Mungkin anda tersenyum membaca tulisan ini, tapi saya merasakannya selama 6 tahun lebih. Ini bukan wahyu [na’udzubillah kalau saya merasa menerimanya] tapi katakanlah semacam bimbingan langsung, penyodoran ide, cara mengungkapkan yang dengan semua itu saya merasa lancar menyampaikannya. Bahkan tidak jarang saya menyadari makna yang lebih menggigit dari suatu ayat justru ketika membacakannya di depan orang lain. Insya Alloh anda pun akan merasakannya selama, anda ikhlash bahwa ceramah ini, semata mata upaya belajar bersama demi semakin melekatkan diri dengan Islam, tidak bermaksud lain kecuali menegakkan kalimatillah dan bukan pamer pengetahuan. Dan juga jangan lupa, anda menghayati betul semangat dari ayat yang anda cuplik menjadi muqoddimah itu.
  • Saya sering mengawali ceramah dengan mencuplik S.48:4 untuk hamdalah, karena dengan meresapi makna ayat tersebut, bahwa ketenangan itu dari Alloh, dan dengan ketenangan itu akan bertambah iman orang mukmin disamping imannya yang telah ada. Saya yakini ayat tadi sedemikian rupa. Alhamdulillah, rasa gugup, ragu, minder rasanya sirna dari dada dengan mengikatkan diri pada kalimat kalimat tersebut. Mengapa harus gelisah karena takut dianggap kurang penampilan, bicara dengan kelas rata rata, tidak didukung gelar dsb dsb. Bukankah ketenangan itu datangnya bukan dari semua itu tadi, tapi dari Alloh yang ayat ayatnya akan saya bacakan. Dan saya harus tenang, serta memelihara kestabilan perasaan ketika ini berlangsung, saya harus membawa suasana taklim ini demikian tentram, hingga memungkinkan datangnya penambahan iman pada diri saya dan pendengar, seperti dijanjikanNya di ayat tersebut. Kalimat kalimat di atas saya hunjamkan ke kalbu sebelum memula dan ketika membaca muqoddimah, hasinya …. Alhamdulillah saya selalu merasakan ketentraman itu ketika berceramah.
  • Ya, anda pun memang mesti membentuk konsep diri terlebih dahulu, menyelaraskan jiwa dengan apa yang anda baca sebagai muqoddimah, jika keselarasan ini sudah di dapat, ibarat orang sudah bisa seimbang mengendarai sepeda, anda tinggal mengayuh saja hingga ceramah berakhir, selamat mencoba, Alloh beserta orang yang ulet dan gigih bersungguh sungguh di jalannya [S.29:69], bersama kita sekalian, Aamiin. 
  1. Tanya : Terus bagaimana kalau saya menthok di tengah jalan, awalnya sih memang tenang, tapi apa tidak jadi blingsatan kalau di tengah tengah ceramah saya tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Masa harus berhenti begitu saja, diakhiri dengan senyum getir dan muka merah, malu …..kayaknya endak akan kuat mental kalau sampai begitu ….
  • Tergantung apa yang hendak anda bahas, bila anda tidak punya rencana tentang pesan apa yang ingin tumbuh di dada pendengar, kemana mereka hendak dibawa, apa yang anda inginkan terjadi diantara kita seusai ceramah ini. Jelas anda akan bingung, sebab dari awwal anda sudah kehilangan arah, tidak ada kompas yang dipedomani. Berbekal niat baik, lantas anda lari tanpa tahu mau kemana. Ini nekad namanya …..
  • Bagi pemula, belum begitu terbiasa lewat alur alur mana ummah hendak kita bawa ke gerbang Islam, kita sendiri belum hapal betul jalan, karena memang baru memulai. Dari awwal berpegang teguhlah pada peta dan kompas memang bisa jadi penolong untuk tetap selamat hingga akhir ceramah. Apa peta dan kompasnya bila dalam ceramah, tidak jauh jauh, Al Quran yang anda pegang !
  • Carilah ayat ayat yang menjelaskan satu tema secara berurutan misalnya :
  • Ciri ciri orang yang menjadi hamba Alloh : S.25 : 63 – 77
  • Ciri ciri prilaku orang yang bertaqwa : S.3 : 133 – 135
  • Ciri ciri orang munafiq : S.2 : 8 – 20
  • Watak yang harus dimiliki anak : S.31 : 12 – 19
  • Menejemen keluarga : S.66 : 6, S.64 : 14 – 15, S.4 : 19 – 20, 34 – 35.
  • Kejadian di akhirat : S.57 : 12 – 16
  • Setelah hamdalah yang dijiwai tadi, anda sampaikan beberapa kata untuk mengawali pembahasan ayat berangkai tersebut, misalnya kalau yang hendak dibahas mengenai “Ciri Ciri Hamba Alloh” anda katakan : “Hadirin yang mulia [atau lebih akrab anda katakan shahabat ku dalam Islam, atau lebih menyentuh ungkapkan, ibu ibu muslimah yang berbahagia dsb] kita sudah lama mengaku sebagai hamba Alloh, sekarang marilah kita lihat dari quran, ciri ciri yang diakui Alloh sebagai syarat menjadi hambanya, hingga dengan itu semua kita bisa berkaca diri, sudah berapa prosen ciri itu kita capai. Menurut Quran S.25 : 63 – 75, ciri cirinya adalah sebagai berikut, mari kita buka bersama ayat nya
  • Cobalah untuk membahas ayat itu semaksimal yang bisa anda tangkap dari yang tertera dalam terjemahnya, bila menthok [tidak tahu lagi penjelasan apa lagi yang harus ditambahkan], segera anda bahas ayat yang berikutnya. Nah selamat khan
Setelah selesai, akhiri dengan kata : “Barangkali baru itu yang bisa saya fahami, semoga kesungguhan kita bersama untuk mengundang bimbingan Ilahi yang membawa kita pada kemampuan berislam yang senantiasa lebih baik dari sebelumnya, Aamiin, Wassalamu’alaikum warohmatulloh ….” Selesailah perjalanan kita yang pertama, mudah bukan ….. 
  1. Tanya : Baru belajar ceramah sudah mengupas Quran ??? wah wah apa tidak kualat tuh. Quran khan firman Alloh, kalau apa yang kita bahas tidak sesuai dengan Maqshud Nya apa tidak malah cilaka ?! Sudah kita sendiri ngaco, orang lain lagi disesatkan ??
  • Tergantung ayat mana yang anda akan bahas, kalau pertama kali ceramah anda mau membahas S.4 : 7 – 13. Biarpun beruntun, itu hukum waris, yah jangan coba coba, bisa bisa ditengah jalan anda bikin hukum waris sendiri tuh. Atau misalnya membahas S.2 : 196 -203, jelas tidak gampang, itu kan ayat haji … perlu didukung kekuatan ilmu fiqh yang mapan. Tapi kalau yang dibahas ciri orang yang bertaqwa itu gemar berinfaq, menahan marah. Ciri hamba Alloh itu tidak bertengkar dengan yang bodoh atau yang semisal itu, tentu tidak harus menunggu ilmu sampai segudang. Dari terjemah saja anda sudah mengerti bagaimana ayat itu diwujudkan. Cuma bedanya yang tambah luas ilmunya, bisa tambah mengembang pembahasannya, tambah dalam hikmah yang diungkapnya. Insya Alloh anda akan bisa begitu, bila mau memulai sejak awwal.
  1. Tanya: Gampang itu khan kalau tidak ada yang nanya, bagaimana kalau ketika kita membahas ayat yang gampang, terus ada yang bertanya dengan tingkat kerumitan yang tinggi, apa tidak bengong di tengah ceramah ?
  • Gampang, bilang saja tidak tahu, selesai. Kemudian tawarkan pada pendengar, “Barangkali ada yang pernah mendengar ayat atau hadits nabi berkenaan dengan masalah ini ?” Bila tidak, katakan padanya, “Alhamdulillah pertanyaan ini menumbuhkan minat ingin tahu yang lebih pada diri saya, Insya Alloh akan saya tanyakan pada yang lebih mengerti Al Quran dan hadits Nabi, begitu juga bagi anda sekalian saya harap pertanyaan ini jadi PR kita bersama. Saiapa saja yang mendapatkan jawabannya berdasar Quran dan Hadits Shohieh, dipersilahkan pada pertemuan mendatang untuk menyampaikan temuannya.” 
  1. Wah malu dong kalau begitu, masih sudah ngomong lama lama, sudah buka Quran sana sini, giliran ditanya malah bilang tidak tahu. Kalau ilmu belum cukup jangan ngomong di depan umum !
  • Mengapa mesti malu, agama ini khan bukan punya kita, dia milik Alloh yang disampaikan lewat RosulNya. Setiap ada masalah, yaa .. kesana kita mesti merujuk. Bila rujukannya belum ketemu, ngapain ngarang jawaban dan mereka reka segala. Jangankan kita yang baru belajar begini. Orang yang jauh lebih mulia dari kita, berpangkat tidak tanggung tanggung, seorang Rosul pun, bila ditanya masalah yang ia tidak yakin [bagaimana maunya Alloh atas perkara itu], beliau SAW akan diam, menunggu wahyu tiba. Nah, bila begitu beliau, apalagi kita. Wajar dong kalau diam dan memanfa’atkan waktu selanjutnya untuk menela’ah kembali sumber agama tadi.
  • Mengatakan tidak tahu, atas perkara agama yang anda tidak yakin jawabannya, bukan menunjukkan anda tidak punya ilmu. Justru itu merupakan tanda bahwa anda memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas pengetahuan, justru karena tahu/berilmu itu anda tidak berani cuap cuap seenaknya. Kata ulama : “Tanda seseorang berpengetahuan, adalah berani mengatakan tidak tahu”. Imam Malik pernah ditanya 40 masalah agama, beliau hanya menjawab 4 masalah saja, sisanya beliau jawab dengan kata kata “Tidak Tahu”. Lihat Imam Mazhab saja begitu lugas, dan tidak malu malu, begitu pula kita seharusnya.
  • Mengapa mesti malu, kalau mengatakan tidak tahu atas perkara agama di depan umum, kita ceramah kan bukan pamer ilmu. Ini penting digaris bawahi. Sebab kalau anda mulai takut mengatakan tidak tahu [atas perkara yang betul betul anda tidak tahu], ini tanda sudah mulai ada yang salah dari niat anda ! Kita ceramah kan semata mata ibadah, mengingatkan diri, dan mengharap pahala tambahan, mudah mudahan ada orang yang tergugah beraman lewat usaha dakwah kita …. Jadi kalau pas tidak tahu, jangan menambah dosa dengan menyesatkan orang lain. Kalau anda yakin ini, Pasti anda akan merasa aman, ketika mengatakan tidak tahu, atas urusan yang anda belum faham ….. Ingat kita hanya mengutarakan apa yang kita mulai mengerti, selebihnya kita pun sedang terus belajar lagi ! Mudah mudahan ini jadi awal yang baik untuk tumbuh menjadi Generasi Robbani seperti yang diungkap dalam S.3:79. 
  1. Anda bisa bilang begitu, tapi kalau dijatuhkan di depan umum, khan yang malu saya …
  • Ibarat orang yang mau bisa naik sepeda, anda itu terus bertanya dan bertanya, sampai yakin bahwa kalau belajar anda akan langsung bisa, tanpa pernah jatuh biar sekali. Jelas ini tidak mungkin bukan ? Yang namanya belajar, pasti ada jatuhnya. Persoalannya mau bisa atau tidak dapat pahala ? Jika mau, berani tidak ambil resiko ? Sempat pipi merah misalnya. Jika anda mau dapat “Bonus” yang lebih baik dari dunia dan isinya, dimana dengan itu amal anda jadi berlipat ganda karena ada saudara muslim lain yang tertarik mengikuti jejak ibadah anda. Kalau itu yang dimaui, resiko malu itu kecil dibanding besarnya pahala yang Alloh janjikan buat anda. Jadi modalnya bismillah saja lah …..
  • Demikian, pelajaran kita yang pertama, Insya Alloh kita akan bertemu lagi, setelah anda mencoba memberanikan diri belajar ceramah. Saya pesankan sekali lagi, Beranilah bicara soal agama, dalam batas batas yang anda sudah faham ! Komunikasikan kebenaran itu. Ingat satu lilin yang menyala bisa menyalakan ribuan lilin yang padam, karena itu “Pass It On” Dengan siapa saja anda bertemu, usahakan ada upaya untuk saling menyalakan hati dengan Cahaya Ilahi. Siapa tahu hati yang berhasil menyala lewat usaha kecil anda, membesar menjadi api yang menerangi buana. Alloh tidak akan lupa mencatat, bahwa kegemilangan besar itu, dari anda juga awalnya ! Dalam hadits dikatakan bahwa : Alloh tersenyum [gembira] melihat seorang hamba yang mendengarkan kebenaran, lalu menyampaikan pada yang lain yang tidak sempat mendengar.
  • Ya Alloh, pandaikanlah kami, pakailah lidah kami ini untuk menyebarkan agamaMu. Jadikanlah pertemuan kami dengan manusia, menambah pahala kami, Aamiin.
 Disalin dari salah satu posting dari peserta milis Isnet (Islamic Network) 

0 komentar:

Posting Komentar