Menikah adalah peristiwa fitrah, fiqhiyah, dakwah, tarbiyah, sosial dan budaya. Peristiwa fitrah, sebab pernikahan adalah salah satu sarana mengekspresikan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Fitrah setiap manusia adalah punya kecenderungan terhadap lawan jenis, dan Allah Ta’ala telah menciptakan rasa keindahan tersebut dalam hati setiap laki-laki dan perempuan.
Persitiwa fiqhiyah, artinya pernikahan memiliki sejumlah aturan fikih yang jelas. Islam adalah satu-satunya agama di dunia ini yang memiliki aturan-aturan yang detail tentang keluarga, sejak dari proses pembentukannya, huingga setelah terbentuknya keluarga sampai jalan keluar dari permasalahan. Bukan hanya pernikahannya yang diatur, akan tetapi perceraian juga mendapatkan aturan yang rinci dan jelas.
Persitiwa dakwah, artinya dengan pernikahan telah membuat pengkabaran tentang jati diri Islam kepada masyarakat. Sejak dari proses pemilihan jodoh, sampai kepada akad nikah, walimah dan akhirnya kehidupan keseharian dalam keluarga. Aplikasi nilai-nilai Islam dalam prosesi pernikahan ini telah memberikan sentuhan dakwah secara langsung kepada masyarakat.
Pernikahan adalah peristiwa tarbiyah, bahwa dengan melaksanakan pernikahan akan menguatkan sisi-sisi kebaikan individual dari laki-laki dan perempuan yang bertemu di pelaminan tersebut. Proses tarbiyah Islamiyah (permbinaan Islami) pada kedua mempelai akan lenbih bisa ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya setelah menikah.
Nikah juga peristiwa sosial, artinya dengan pernikahan terhubungkanlah dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan. Semula mereka adalah pihak yang asing, belum saling mengenal, bahkan mungkin terpisahkan oleh jarak yang jauh. Dengan pernikahan tersebut, bukan saja bermakna mempertemukan dua orang –lelaki dan perempuan– dalam pelaminan, akan tetapi telah mempertemukan dua keluarga besar dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan.
Nikah juga peristiwa budaya, artinya dengan pernikahan terbaurkanlah dua latar budaya yang tak mesti sama dari kedua belah pihak. Pernikahan telah mempertemukan dua kebudayaan yang tidak mesti sama. Dua tradisi dan dua adat yang berbeda. Dengan pernikahan terbentuklah sebuah peradaban!
Dengan demikian proses pernikahan berarti mempertemukan banyak kepentingan, dan bukan mempertentangkan kepentingan-kepentingan tersebut. Jika menggunakan pendekatan mempertentangkan kepentingan, akan semakin banyak kepentingan yang tidak terdapatkan, sebaliknya jika mencoba mempertemukan kepentingan semaksimal mungkin kepentingan bisa terakomodir.
Menikah di Jalan Dakwah
Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, dipikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. Selain kriteria umum sebagaimana tuntunan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah : apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri?
Mari saya beri contoh berikut. Di antara sekian banyak wanita muslimah yang telah memasuki usia siap menikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai 35 tahun, sebagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebagian berusia 25 hingga 30, dan yang lainnya di bawah 25 tahun. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsi dan peran sebagai isteri dan ibu di rumah tangga.
Anda adalah laki-laki muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realitas bahwa wanita muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih anda pilih, dan dengan pertimbangan apa anda memilih dia sebagai calon isteri anda ?
Ternyata anda memilih si A, karena ia memenuhi kriteria kebaikan agama, cantik, menarik, pandai dan usia masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan anda ini salah? Demi Allah, pilihan anda ini tidak salah ! Anda telah memilih calon isteri dengan benar karena berdasarkan kriteria kebaikan agama; dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah saw bertanya kepada Jabir ra :
“Mengapa tidak (menikah) dengan seorang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu?” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan inilah jawaban dakwah seorang Jabir ra, “Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut”, kata Jabir. “Benar katamu,” jawab Nabi saw.
Jabir tidak hanya berpikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia bisa memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan apabila menikahi gadis perawan.
Nah, apabila semua laki-laki muslim berpikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang usianya di atas 25 tahun, atau di atas 30 tahun, atau bahkan di atas 35 tahun?
Siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? Mereka, wanita tadi, adalah para muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita shalihah, menjaga kehormatan diri, bahkan mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan sosial. Menurut anda, siapakah yang harus menikahi mereka?
Ah, mengapa pertanyaannya “harus”? Dan mengapa pertanyaan ini dibebankan hanya kepada seseorang? Kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas itu. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Bukan, bukan dalam konteks itu saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah Islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian?
Kendatipun Nabi saw menganjurkan Jabir agar menikah dengan gadis, kita juga mengetahui bahwa hampir seluruh isteri Rasulullah saw adalah janda! Kendatipun Nabi saw menyarankan agar Jabir beristeri gadis, pada kenyataannya Jabir telah menikahi janda!
Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap laki-laki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, membawa maslahat bagi dakwah.
Sebagaimana pula pikiran yang terbersit di benak Sa’ad bin Rabi’ Al Anshari, saat ia menerima saudaranya seiman, Abdurrahman bin Auf, “Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang di antara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nilkahi. Kalau iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia” (HR Bukhari).
Ia tidak memiliki maksud apapun kecuali memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki isteri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan ide aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu, dan ia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar.
Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikaitkan dengan proyek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis harapan anda bernilai 100 poin, tidakkah anda bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh ?
Jika gadis harapan anda berusia 20 tahun, tidakkah anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia ? Jika anda adalah seorang wanita muda usia, dan ditanya –dalam konteks pernikahan– oleh seorang laki-laki yang sesuai kriteria harapan anda, mampukah anda mengatakan kepada dia, “Saya memang telah siap menikah, akan tetapi si B, sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah”.
Atau kita telah bersepakat untuk tidak mau melihat realitas itu, karena bukanlah tanggung jawab kita ? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah soal takdir yang tak berada di tangan kita. Masyaallah, seribu dalil bisa kita gunakan untuk mengabsahkan pikiran individualistik kita. Akan tetapi hendaknya kita ingat pesan kenabian berikut :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (HR Bukhari dan Muslim).
Bisa jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan yang sedih, karena jodoh tak kunjung datang, sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri semakin berkurang.
Di sinilah perlunya kita berpikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan muslim.
Bagaimana Menentukan Calon?
Menentukan pilihan pasangan hidup bukan peristiwa yang dampaknya hanya sesaat, melainkan memiliki dampak luas dan panjang sampai seumur-umur hidup, bahkan sampai urusan akhirat kita. Oleh karena itu amat disayangkan apabila memilih calon suami atau isteri hanya semata-mata berlandaskan selera dan kesenangan pribadi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain yang lebih luas kemanfaatan dan jangkauannya. Bisa jadi ada pertimbangan tertentu yang anda tidak mengetahui sebelumnya, dan baru diketahui setelah anda bermusyawarah dengan orang-orang shalih di sekitar anda.
Bisa jadi semula wawasan pemikiran anda tidak terlalu luas dalam memilih calon pasangan hidup, maka dengan melakukan musyawarah dengan orang-orang yang amanah dan bisa dipercaya, anda akan mendapatkan keluasan pemikiran dan pandangan. Bahkan mungkin anda merasa diri telah menemukan pilihan yang paling tepat menurut ukuran anda, akan tetapi ternyata setelah anda musyawarahkan ternyata ada hal-hal yang menjadi catatan dan ketidaktepatan pilihan.
Menentukan pilihan suami atau isteri harus dilakukan dengan sepenuh kesadaran dan penerimaan utuh, tanpa keterpaksaan. Sebab pernikahan harus diniatkan untuk selamanya, tak boleh untuk jangka waktu sementara, dengan niatan menceraikan kalau ternyata dianggap tidak cocok. Menerima calon suami atau calon isteri dengan sepenuh hati adalah hak penuh masing-masing pihak. Tak ada seorangpun yang berhak memaksakan terjadinya pernikahan pada diri seseorang. Laki-laki dan perempuan berada dalam posisi merdeka pada konteks penentuan jodoh.
Syariat Islam Berorientasi Pada Kemudahan
Jika ditinjau dari seluruh sisinya, syari’at Islam berprinsip menghilangkan kesulitan dengan mengambil kemudahan dalam setiap pilihan. Allah Ta’ala telah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kamu” (Al Baqarah: 185).
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al Haj: 78).
Nabi saw memberikan ketetapan yang amat kuat dalam melihat kebaikan agama, sebagaimana tercermin dalam sabda beliau :
“Sebaik-baik (urusan) agamamu ialah yang termudah” (HR Thabrani).
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tiada seseorang yang mencoba mempersukar dalam agama, melainkan ia akan kalah. Oleh karena itu tepatlah, dekat-dekatlah dan bukalah harapan, pergunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit di waktu malam” (HR Bukhari).
Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw telah bersabda dengan mengulang hingga tiga kali kalimat ini:
“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama” HR Muslim).
Sangat terasa orientasi Islam yang menghendaki kemudahan dalam berbagai urusan. Bahkan tatkala beliau saw dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka amat tegas apa yang beliau tunjukkan kepada kita lewat perkataan A’isyah ra berikut:
“Tidaklah Rasulullah saw dihadapkan pada pilihan antara dua hal, kecuali beliau mengambil yang lebih mudah, asalkan bukan dosa” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita coba melihat betapa Islam menghendaki kemudahan dalam proses pernikahan. Proses pemilihan jodoh dibuat sedemikian rupa oleh Islam sehingga memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk melakukannya. Mereka boleh memilih sendiri calon pasangan hidupnya, atau dicarikan orang tua, kerabat, dan orang-orang shalih, atau dicarikan oleh pemimpin. Wanita boleh memilih laki-laki untuk menjadi calon suami, demikian pula laki-laki boleh memilih perempuan untuk menjadi calon isterinya.
Dalam peminangan, boleh dilakukan sendiri oleh pihak laki-laki, boleh pula mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Wanita juga boleh meminang laki-laki untuk dirinya sendiri, atau untuk wanita lainnya. Untuk janda bahkan boleh dilakukan hanya dengan sindiran, dan boleh dipinang langsung kepada diri si janda.
Dalam urusan mahar, Islam tidak mempersulitnya. Bagi yang memiliki harta banyak, ia boleh memberikan mahar sesuai kesanggupannya, akan tetapi Islam menghendaki kemudahan di dalam pemberian mahar:
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah” (HR Al Hakim).
Dalam melaksanakan akad nikah, tidak dituntut hal-hal yang merepotkan. Tidak dituntut kemewahan atau keramaian tertentu. Keberadaan wali dari pihak perempuan dan dua orang saksi telah memenuhi persyaratan dilaksanakannya pernikahan:
“Tidak ada nikah kecuali dengan (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil” (HR Baihaqi).
Dalam melaksanakan walimah, tidak mesti dengan upacara dan resepsi yang besar dan mewah. Seandainya hanya memiliki seekor kambing, cukuplah itu untuk melaksanakan walimah:
“Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR Bukhari dan Muslim).
Bahkan seandainya tidak memiliki seekor kambing, walimah tetap diadakan dengan hidangan apapun yang dimiliki, seperti ketika Nabi saw melaksanakan walimah dalam pernikahan beliau dengan Shafiyah. Oleh karena itulah dalam masalah pernikahan ini, A’isyah menjelaskan:
“Sesungguhnya di antara keberkahan wanita ialah kemudahan peminangannya dan kemudahan maharnya” (riwayat Ahmad).
Uqbah bin Amir ra menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah” (HR Abu Dawud).
Dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Islam ini, diharapkan setiap orang bisa melaksanakan syari’at dalam pernikahan tanpa ada kesulitan. Tidaklah Islam datang membawa misi untuk memberatkan manusia, atau membuat kesulitan-kesulitan. Yang diinginkan hanyalah perbaikan di seluruh sisi kehidupan, yang dengan aturan ini kebaikan hidup akan terjaga.
Orang tua tidak boleh mempersulit anak laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan pernikahan Islami. Negara tidak diperkenankan membuat aturan yang menyulitkan terjadinya pernikahan. Organisasi atau jama’ah tidak diberi hak untuk membuat aturan-aturan yang merepotkan dan menyulitkan para anggota dalam melaksanakan pernikahan syar’i. Yang harus mereka lakukan adalah memberikan vasilitas kemudahan dalam mengururs pernikahan.
Hal inilah yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Mempersulit urusan, termasuk pernikahan, bukanlah watak dasar syari’at Islam. Wallahu a’lam.
Persitiwa fiqhiyah, artinya pernikahan memiliki sejumlah aturan fikih yang jelas. Islam adalah satu-satunya agama di dunia ini yang memiliki aturan-aturan yang detail tentang keluarga, sejak dari proses pembentukannya, huingga setelah terbentuknya keluarga sampai jalan keluar dari permasalahan. Bukan hanya pernikahannya yang diatur, akan tetapi perceraian juga mendapatkan aturan yang rinci dan jelas.
Persitiwa dakwah, artinya dengan pernikahan telah membuat pengkabaran tentang jati diri Islam kepada masyarakat. Sejak dari proses pemilihan jodoh, sampai kepada akad nikah, walimah dan akhirnya kehidupan keseharian dalam keluarga. Aplikasi nilai-nilai Islam dalam prosesi pernikahan ini telah memberikan sentuhan dakwah secara langsung kepada masyarakat.
Pernikahan adalah peristiwa tarbiyah, bahwa dengan melaksanakan pernikahan akan menguatkan sisi-sisi kebaikan individual dari laki-laki dan perempuan yang bertemu di pelaminan tersebut. Proses tarbiyah Islamiyah (permbinaan Islami) pada kedua mempelai akan lenbih bisa ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya setelah menikah.
Nikah juga peristiwa sosial, artinya dengan pernikahan terhubungkanlah dua keluarga besar dari pihak laki-laki dan perempuan. Semula mereka adalah pihak yang asing, belum saling mengenal, bahkan mungkin terpisahkan oleh jarak yang jauh. Dengan pernikahan tersebut, bukan saja bermakna mempertemukan dua orang –lelaki dan perempuan– dalam pelaminan, akan tetapi telah mempertemukan dua keluarga besar dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan.
Nikah juga peristiwa budaya, artinya dengan pernikahan terbaurkanlah dua latar budaya yang tak mesti sama dari kedua belah pihak. Pernikahan telah mempertemukan dua kebudayaan yang tidak mesti sama. Dua tradisi dan dua adat yang berbeda. Dengan pernikahan terbentuklah sebuah peradaban!
Dengan demikian proses pernikahan berarti mempertemukan banyak kepentingan, dan bukan mempertentangkan kepentingan-kepentingan tersebut. Jika menggunakan pendekatan mempertentangkan kepentingan, akan semakin banyak kepentingan yang tidak terdapatkan, sebaliknya jika mencoba mempertemukan kepentingan semaksimal mungkin kepentingan bisa terakomodir.
Menikah di Jalan Dakwah
Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, dipikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. Selain kriteria umum sebagaimana tuntunan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah : apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri?
Mari saya beri contoh berikut. Di antara sekian banyak wanita muslimah yang telah memasuki usia siap menikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai 35 tahun, sebagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebagian berusia 25 hingga 30, dan yang lainnya di bawah 25 tahun. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsi dan peran sebagai isteri dan ibu di rumah tangga.
Anda adalah laki-laki muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realitas bahwa wanita muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih anda pilih, dan dengan pertimbangan apa anda memilih dia sebagai calon isteri anda ?
Ternyata anda memilih si A, karena ia memenuhi kriteria kebaikan agama, cantik, menarik, pandai dan usia masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan anda ini salah? Demi Allah, pilihan anda ini tidak salah ! Anda telah memilih calon isteri dengan benar karena berdasarkan kriteria kebaikan agama; dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah saw bertanya kepada Jabir ra :
“Mengapa tidak (menikah) dengan seorang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu?” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan inilah jawaban dakwah seorang Jabir ra, “Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut”, kata Jabir. “Benar katamu,” jawab Nabi saw.
Jabir tidak hanya berpikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia bisa memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan apabila menikahi gadis perawan.
Nah, apabila semua laki-laki muslim berpikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang usianya di atas 25 tahun, atau di atas 30 tahun, atau bahkan di atas 35 tahun?
Siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? Mereka, wanita tadi, adalah para muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita shalihah, menjaga kehormatan diri, bahkan mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan sosial. Menurut anda, siapakah yang harus menikahi mereka?
Ah, mengapa pertanyaannya “harus”? Dan mengapa pertanyaan ini dibebankan hanya kepada seseorang? Kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas itu. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Bukan, bukan dalam konteks itu saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah Islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian?
Kendatipun Nabi saw menganjurkan Jabir agar menikah dengan gadis, kita juga mengetahui bahwa hampir seluruh isteri Rasulullah saw adalah janda! Kendatipun Nabi saw menyarankan agar Jabir beristeri gadis, pada kenyataannya Jabir telah menikahi janda!
Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap laki-laki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, membawa maslahat bagi dakwah.
Sebagaimana pula pikiran yang terbersit di benak Sa’ad bin Rabi’ Al Anshari, saat ia menerima saudaranya seiman, Abdurrahman bin Auf, “Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang di antara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nilkahi. Kalau iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia” (HR Bukhari).
Ia tidak memiliki maksud apapun kecuali memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki isteri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan ide aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu, dan ia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar.
Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikaitkan dengan proyek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis harapan anda bernilai 100 poin, tidakkah anda bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh ?
Jika gadis harapan anda berusia 20 tahun, tidakkah anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia ? Jika anda adalah seorang wanita muda usia, dan ditanya –dalam konteks pernikahan– oleh seorang laki-laki yang sesuai kriteria harapan anda, mampukah anda mengatakan kepada dia, “Saya memang telah siap menikah, akan tetapi si B, sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah”.
Atau kita telah bersepakat untuk tidak mau melihat realitas itu, karena bukanlah tanggung jawab kita ? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah soal takdir yang tak berada di tangan kita. Masyaallah, seribu dalil bisa kita gunakan untuk mengabsahkan pikiran individualistik kita. Akan tetapi hendaknya kita ingat pesan kenabian berikut :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (HR Bukhari dan Muslim).
Bisa jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan yang sedih, karena jodoh tak kunjung datang, sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri semakin berkurang.
Di sinilah perlunya kita berpikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan muslim.
Bagaimana Menentukan Calon?
Menentukan pilihan pasangan hidup bukan peristiwa yang dampaknya hanya sesaat, melainkan memiliki dampak luas dan panjang sampai seumur-umur hidup, bahkan sampai urusan akhirat kita. Oleh karena itu amat disayangkan apabila memilih calon suami atau isteri hanya semata-mata berlandaskan selera dan kesenangan pribadi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain yang lebih luas kemanfaatan dan jangkauannya. Bisa jadi ada pertimbangan tertentu yang anda tidak mengetahui sebelumnya, dan baru diketahui setelah anda bermusyawarah dengan orang-orang shalih di sekitar anda.
Bisa jadi semula wawasan pemikiran anda tidak terlalu luas dalam memilih calon pasangan hidup, maka dengan melakukan musyawarah dengan orang-orang yang amanah dan bisa dipercaya, anda akan mendapatkan keluasan pemikiran dan pandangan. Bahkan mungkin anda merasa diri telah menemukan pilihan yang paling tepat menurut ukuran anda, akan tetapi ternyata setelah anda musyawarahkan ternyata ada hal-hal yang menjadi catatan dan ketidaktepatan pilihan.
Menentukan pilihan suami atau isteri harus dilakukan dengan sepenuh kesadaran dan penerimaan utuh, tanpa keterpaksaan. Sebab pernikahan harus diniatkan untuk selamanya, tak boleh untuk jangka waktu sementara, dengan niatan menceraikan kalau ternyata dianggap tidak cocok. Menerima calon suami atau calon isteri dengan sepenuh hati adalah hak penuh masing-masing pihak. Tak ada seorangpun yang berhak memaksakan terjadinya pernikahan pada diri seseorang. Laki-laki dan perempuan berada dalam posisi merdeka pada konteks penentuan jodoh.
Syariat Islam Berorientasi Pada Kemudahan
Jika ditinjau dari seluruh sisinya, syari’at Islam berprinsip menghilangkan kesulitan dengan mengambil kemudahan dalam setiap pilihan. Allah Ta’ala telah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kamu” (Al Baqarah: 185).
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al Haj: 78).
Nabi saw memberikan ketetapan yang amat kuat dalam melihat kebaikan agama, sebagaimana tercermin dalam sabda beliau :
“Sebaik-baik (urusan) agamamu ialah yang termudah” (HR Thabrani).
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tiada seseorang yang mencoba mempersukar dalam agama, melainkan ia akan kalah. Oleh karena itu tepatlah, dekat-dekatlah dan bukalah harapan, pergunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit di waktu malam” (HR Bukhari).
Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw telah bersabda dengan mengulang hingga tiga kali kalimat ini:
“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama” HR Muslim).
Sangat terasa orientasi Islam yang menghendaki kemudahan dalam berbagai urusan. Bahkan tatkala beliau saw dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka amat tegas apa yang beliau tunjukkan kepada kita lewat perkataan A’isyah ra berikut:
“Tidaklah Rasulullah saw dihadapkan pada pilihan antara dua hal, kecuali beliau mengambil yang lebih mudah, asalkan bukan dosa” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita coba melihat betapa Islam menghendaki kemudahan dalam proses pernikahan. Proses pemilihan jodoh dibuat sedemikian rupa oleh Islam sehingga memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk melakukannya. Mereka boleh memilih sendiri calon pasangan hidupnya, atau dicarikan orang tua, kerabat, dan orang-orang shalih, atau dicarikan oleh pemimpin. Wanita boleh memilih laki-laki untuk menjadi calon suami, demikian pula laki-laki boleh memilih perempuan untuk menjadi calon isterinya.
Dalam peminangan, boleh dilakukan sendiri oleh pihak laki-laki, boleh pula mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Wanita juga boleh meminang laki-laki untuk dirinya sendiri, atau untuk wanita lainnya. Untuk janda bahkan boleh dilakukan hanya dengan sindiran, dan boleh dipinang langsung kepada diri si janda.
Dalam urusan mahar, Islam tidak mempersulitnya. Bagi yang memiliki harta banyak, ia boleh memberikan mahar sesuai kesanggupannya, akan tetapi Islam menghendaki kemudahan di dalam pemberian mahar:
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah” (HR Al Hakim).
Dalam melaksanakan akad nikah, tidak dituntut hal-hal yang merepotkan. Tidak dituntut kemewahan atau keramaian tertentu. Keberadaan wali dari pihak perempuan dan dua orang saksi telah memenuhi persyaratan dilaksanakannya pernikahan:
“Tidak ada nikah kecuali dengan (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil” (HR Baihaqi).
Dalam melaksanakan walimah, tidak mesti dengan upacara dan resepsi yang besar dan mewah. Seandainya hanya memiliki seekor kambing, cukuplah itu untuk melaksanakan walimah:
“Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR Bukhari dan Muslim).
Bahkan seandainya tidak memiliki seekor kambing, walimah tetap diadakan dengan hidangan apapun yang dimiliki, seperti ketika Nabi saw melaksanakan walimah dalam pernikahan beliau dengan Shafiyah. Oleh karena itulah dalam masalah pernikahan ini, A’isyah menjelaskan:
“Sesungguhnya di antara keberkahan wanita ialah kemudahan peminangannya dan kemudahan maharnya” (riwayat Ahmad).
Uqbah bin Amir ra menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah” (HR Abu Dawud).
Dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Islam ini, diharapkan setiap orang bisa melaksanakan syari’at dalam pernikahan tanpa ada kesulitan. Tidaklah Islam datang membawa misi untuk memberatkan manusia, atau membuat kesulitan-kesulitan. Yang diinginkan hanyalah perbaikan di seluruh sisi kehidupan, yang dengan aturan ini kebaikan hidup akan terjaga.
Orang tua tidak boleh mempersulit anak laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan pernikahan Islami. Negara tidak diperkenankan membuat aturan yang menyulitkan terjadinya pernikahan. Organisasi atau jama’ah tidak diberi hak untuk membuat aturan-aturan yang merepotkan dan menyulitkan para anggota dalam melaksanakan pernikahan syar’i. Yang harus mereka lakukan adalah memberikan vasilitas kemudahan dalam mengururs pernikahan.
Hal inilah yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Mempersulit urusan, termasuk pernikahan, bukanlah watak dasar syari’at Islam. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar