Hampir tidak mungkin kita bisa menggambarkan kebesaran dan kemuliaan Fathimah as. putri kesayangan Rasulullah Saw ini. Setiap kita membayangkan suatu kemuliaan yang mungkin bisa kita ungkapkan untuk menggambarkan kemuliaan atau kebesarannya maka terbersit dalam hati kita keraguan bahwa apa yang kita bayangkan itu masih terlalu kecil untuk seorang Fathimah.
Cara yang paling mungkin untuk menggambarkan kebesaran dan kemuliaan Sayyidah Fathimah al-Zahra adalah sebagaimana cara yang juga dilakukan oleh Rasulullah Saw, ayahanda beliau sendiri, yaitu membandingkan Fathimah dengan Maryam bunda Nabi suci Isa as. Banyak kesamaan yang bisa kita lihat pada kedua pribadi besar ini. Sisi yang paling menonjol dari kedua tokoh yang sangat dicintai oleh banyak orang ini adalah ibadah yang kuat dan penderitaan yang dialami keduanya, Fathimah dan Maryam ‘alaihimassalam. (Semoga salam dan kesejahteraan senantiasa dilimpahkan atas mereka berdua). Bayangkanlah jika saat itu Anda adalah bunda Maryam yang sedang melihat penyiksaan secara langsung atas “putra kandung”-nya yang shalih dan taat, diseret, disayat-sayat dengan sadis, dipukuli, diludahi, ditendang, dicaci-maki.
Itulah yang juga terjadi pada Fathimah putri dan kecintaan Rasulullah Saw. Segera sepeninggal Rasulullah Saw, sang putri nan suci ini mengalami cobaan dan ujian yang datang secara beruntun tanpa henti. Segera tidak lama setelah tubuh suci Rasul yang mulia dikuburkan, Fathimah mengalami perlakuan- perlakuan yang sebelumnya tidak pernah ia alami. Perampasan tanah Fadak, penghapusan hak khumus, pendobrakan pintu rumahnya, dan usaha-usaha ingin membakar habis rumahnya terjadi semasa jasad ayahnya yang sekaligus Rasul Allah masih “hangat” berada di dalam kuburnya. Dan terlebih lagi, seperti Maryam as, dia mulai merasakan masa-masa yang dekat yang mana putra- putrinya akan mengalami penderitaan yang lebih dahsyat lagi terutama apa yang bakal dialami oleh Husain putra yang sangat ia istimewakan ketimbang anak-anaknya yang lain. Sepeninggal ayahnya, Sayyidah Fathimah hidup selama 75 hari, masa-masa yg dilaluinya dengan berbagai kesedihan dan derita. Selama 75 hari itu, Jibril datang mengunjunginya, menyampaikan belasungkawa dan mengabarkan apa yg bakal menimpa dirinya dan keturunannya. Dari Jibril as lah, Fathimah mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan Hasan Husein as, dan keturunannya yang lain.
Berikut ini adalah detik-detik terakhir kehidupan putri tercinta Nabi, Fathimah as di bawah ini: Tulang rusuk dan tangan Fathimah yang patah sangat membuat putri Nabi ini sangat menderita. Bahkan cedera yang sedemikian serius itu juga mengakibatkan bayi dalam kandungannya meninggal. *] Cedera fisik serta benturan mental yang dialaminya memperparah sakitnya. Sebaris bait dalam bentuk puisi yang dinyatakannya sebelum ia meninggal cukup memberikan gambaran betapa berat beban derita yang dirasakan putri kesayangan Nabi ini. Sekian banyak derita yang menimpaku pabila semua derita ini ditimpakan kepada siang, niscaya siang segera kan berubah menjadi malam Walau pun begitu, wanita mulia ini tetap mengatakan kepada seisi rumahnya bahwa ia merasa lebih baik, rasa sakit pada rusuk dan tangannya tidak lagi terlalu dirasakannya dan panas demamnya sudah mulai turun. Kemudian ia memandikan anak-anaknya, yang segera dibantu Ali dan Fizzah.
Ia memandikan anak-anaknya, mengganti pakaian mereka, kemudian mengantarkan mereka ke sepupunya. Lalu ia memanggil suami tercintanya, Ali ke sisinya seraya berkata dngan suara yang sangat lemah,”Ali, suamiku tercinta, engkau tahu mengapa kulakukan semua itu. Mohon engkau maafkan kesalahanku. Mereka, anak-anak kita, sudah demikian menderita bersamaku selama aku sakit, sehingga aku ingin hari ini mereka berbahagia di hari terakhir hidupku. “Wahai Ali, engkau pun tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirku. Aku gembira tetapi sekaligus sedih. Aku gembira karena penderitaanku akan segera berakhir, dan aku akan segera bertemu dengan ayah tercinta, namun aku juga sedih, karena harus berpisah denganmu, dan anak-anakku. Kumohon Ali, catatlah apa yang akan kukatakan kepadamu dan lakukanlah apa yang kuingin engkau melakukannya. Sepeninggalku nanti, engkau boleh mengawini siapa saja yang engkau sukai, tetapi alangkah baiknya jika engkau mengawini sepupuku, Yamamah. Ia mencintai anak-anakku dan Husain sangat lengket dengannya. Biarlah Fizzah (pelayan Fathimah) tinggal bersama kalian, sekalipun ia sudah kawin, jika ia mau. Ia lebih dari sekedar pelayan bagiku. Aku mencintainya sebagai anak.
Wahai Ali, kuburkan jenazahku di malam hari dan jangan biarkan orang-orang yang telah berbuat sedemikian kejam kepadaku turut menyertai penguburan jenazahku. Dan jangan kematianku mengecilkan hatimu. Engkau mesti melayani Islam dan kebenaran untuk waktu yang lama. Janganlah penderitaanku membuat hidupmu kau rasakan pahit. Berjanjilah padaku, Ali…” “Ya..Fathimah, aku berjanji…” suara Ali bergetar “Wahai Ali…” Fathimah melanjutkan. “Aku tahu betapa engkau mencintai anak-anakku, tetapi khusus Husain, hati-hatilah kepadanya. Ia sangat mencintaiku dan ia akan sangat kehilanganku. Jadilah ibu baginya. Hingga menjelang sakitku ini ia biasa tidur lelap di atas dadaku. Sebentar lagi ia akan kehilangan itu.” Ali yang sedang mengelus-elus tangan Fathimah yang patah itu, tanpa disadarinya meneteskan air matanya dan jatuh di atas tangan Fathimah. Fathimah mengangkat wajahnya seraya berujar lembut, “ Jangan menangis, suamiku. Aku tahu…dengan wajah lahirmu yang kasar, namun betapa lembut hatimu sesungguhnya. Engkau sudah terlalu banyak menderita dan akan lebih banyak lagi derita yang akan kau alami. Selamat tinggal, tuanku, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal suamiku tercinta. Selamat tinggal Ali…Katakanlah selamat jalan untukku…”
Rasa sedih sudah sedemikian mencekik kerongkongannya, sehingga nyaris tidak lagi sanggup ia mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengatakan dengan ucapan yang telah bercampur air mata,”Selamat jalan Fathimah….” Fathimah melanjutkan, “Semoga Allah Yang Maha Pengasih menolongmu dalam menanggung penderitaan dan kesedihan ini dengan kesabaran. Sekarang biarkanlah aku sendiri dengan Tuhanku” Ketika Fathimah mengakhiri kata-katanya ini, ia langsung berpaling ke arah babut sajadah, lalu bersujud ke hadirat Allah.
Beberapa saat kemudian Sayyidina Ali memasuki ruangan. Ia mendapatkan Fathimah masih dalam keadaan bersujud tetapi jiwanya telah berangkat dijemput ayahnya menuju Rahmat Allah. Fathimah syahid dalam usia yang masih sangat muda, seperti yang dikatakan Sayyidina Ali : “Sekuntum bunga yang dipotong ketika sedang kuncup, dari Jannah kembali ke Jannah, dan telah meninggalkan semerbak wewangian ke dalam jiwaku!” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun…. Tak ada dan takkan ada derita yang lebih hebat dari yang pernah dialami oleh mereka Ahlul Bait. Ketika mengingat Fathimah maka yang terbayang oleh kita hanya derita dan sengsara, seolah Fathimah adalah derita itu sendiri dan kesengsaraan adalah Ahlul Bait itu sendiri.
Salamun ‘alaiki ya Fathimah…salamun alaiki ya Fathimah! Salamun alaikum ya Ahli Baitirasuul…..Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad!!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun….
Sumber : Fadilah
Cara yang paling mungkin untuk menggambarkan kebesaran dan kemuliaan Sayyidah Fathimah al-Zahra adalah sebagaimana cara yang juga dilakukan oleh Rasulullah Saw, ayahanda beliau sendiri, yaitu membandingkan Fathimah dengan Maryam bunda Nabi suci Isa as. Banyak kesamaan yang bisa kita lihat pada kedua pribadi besar ini. Sisi yang paling menonjol dari kedua tokoh yang sangat dicintai oleh banyak orang ini adalah ibadah yang kuat dan penderitaan yang dialami keduanya, Fathimah dan Maryam ‘alaihimassalam. (Semoga salam dan kesejahteraan senantiasa dilimpahkan atas mereka berdua). Bayangkanlah jika saat itu Anda adalah bunda Maryam yang sedang melihat penyiksaan secara langsung atas “putra kandung”-nya yang shalih dan taat, diseret, disayat-sayat dengan sadis, dipukuli, diludahi, ditendang, dicaci-maki.
Itulah yang juga terjadi pada Fathimah putri dan kecintaan Rasulullah Saw. Segera sepeninggal Rasulullah Saw, sang putri nan suci ini mengalami cobaan dan ujian yang datang secara beruntun tanpa henti. Segera tidak lama setelah tubuh suci Rasul yang mulia dikuburkan, Fathimah mengalami perlakuan- perlakuan yang sebelumnya tidak pernah ia alami. Perampasan tanah Fadak, penghapusan hak khumus, pendobrakan pintu rumahnya, dan usaha-usaha ingin membakar habis rumahnya terjadi semasa jasad ayahnya yang sekaligus Rasul Allah masih “hangat” berada di dalam kuburnya. Dan terlebih lagi, seperti Maryam as, dia mulai merasakan masa-masa yang dekat yang mana putra- putrinya akan mengalami penderitaan yang lebih dahsyat lagi terutama apa yang bakal dialami oleh Husain putra yang sangat ia istimewakan ketimbang anak-anaknya yang lain. Sepeninggal ayahnya, Sayyidah Fathimah hidup selama 75 hari, masa-masa yg dilaluinya dengan berbagai kesedihan dan derita. Selama 75 hari itu, Jibril datang mengunjunginya, menyampaikan belasungkawa dan mengabarkan apa yg bakal menimpa dirinya dan keturunannya. Dari Jibril as lah, Fathimah mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan Hasan Husein as, dan keturunannya yang lain.
Berikut ini adalah detik-detik terakhir kehidupan putri tercinta Nabi, Fathimah as di bawah ini: Tulang rusuk dan tangan Fathimah yang patah sangat membuat putri Nabi ini sangat menderita. Bahkan cedera yang sedemikian serius itu juga mengakibatkan bayi dalam kandungannya meninggal. *] Cedera fisik serta benturan mental yang dialaminya memperparah sakitnya. Sebaris bait dalam bentuk puisi yang dinyatakannya sebelum ia meninggal cukup memberikan gambaran betapa berat beban derita yang dirasakan putri kesayangan Nabi ini. Sekian banyak derita yang menimpaku pabila semua derita ini ditimpakan kepada siang, niscaya siang segera kan berubah menjadi malam Walau pun begitu, wanita mulia ini tetap mengatakan kepada seisi rumahnya bahwa ia merasa lebih baik, rasa sakit pada rusuk dan tangannya tidak lagi terlalu dirasakannya dan panas demamnya sudah mulai turun. Kemudian ia memandikan anak-anaknya, yang segera dibantu Ali dan Fizzah.
Ia memandikan anak-anaknya, mengganti pakaian mereka, kemudian mengantarkan mereka ke sepupunya. Lalu ia memanggil suami tercintanya, Ali ke sisinya seraya berkata dngan suara yang sangat lemah,”Ali, suamiku tercinta, engkau tahu mengapa kulakukan semua itu. Mohon engkau maafkan kesalahanku. Mereka, anak-anak kita, sudah demikian menderita bersamaku selama aku sakit, sehingga aku ingin hari ini mereka berbahagia di hari terakhir hidupku. “Wahai Ali, engkau pun tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirku. Aku gembira tetapi sekaligus sedih. Aku gembira karena penderitaanku akan segera berakhir, dan aku akan segera bertemu dengan ayah tercinta, namun aku juga sedih, karena harus berpisah denganmu, dan anak-anakku. Kumohon Ali, catatlah apa yang akan kukatakan kepadamu dan lakukanlah apa yang kuingin engkau melakukannya. Sepeninggalku nanti, engkau boleh mengawini siapa saja yang engkau sukai, tetapi alangkah baiknya jika engkau mengawini sepupuku, Yamamah. Ia mencintai anak-anakku dan Husain sangat lengket dengannya. Biarlah Fizzah (pelayan Fathimah) tinggal bersama kalian, sekalipun ia sudah kawin, jika ia mau. Ia lebih dari sekedar pelayan bagiku. Aku mencintainya sebagai anak.
Wahai Ali, kuburkan jenazahku di malam hari dan jangan biarkan orang-orang yang telah berbuat sedemikian kejam kepadaku turut menyertai penguburan jenazahku. Dan jangan kematianku mengecilkan hatimu. Engkau mesti melayani Islam dan kebenaran untuk waktu yang lama. Janganlah penderitaanku membuat hidupmu kau rasakan pahit. Berjanjilah padaku, Ali…” “Ya..Fathimah, aku berjanji…” suara Ali bergetar “Wahai Ali…” Fathimah melanjutkan. “Aku tahu betapa engkau mencintai anak-anakku, tetapi khusus Husain, hati-hatilah kepadanya. Ia sangat mencintaiku dan ia akan sangat kehilanganku. Jadilah ibu baginya. Hingga menjelang sakitku ini ia biasa tidur lelap di atas dadaku. Sebentar lagi ia akan kehilangan itu.” Ali yang sedang mengelus-elus tangan Fathimah yang patah itu, tanpa disadarinya meneteskan air matanya dan jatuh di atas tangan Fathimah. Fathimah mengangkat wajahnya seraya berujar lembut, “ Jangan menangis, suamiku. Aku tahu…dengan wajah lahirmu yang kasar, namun betapa lembut hatimu sesungguhnya. Engkau sudah terlalu banyak menderita dan akan lebih banyak lagi derita yang akan kau alami. Selamat tinggal, tuanku, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal suamiku tercinta. Selamat tinggal Ali…Katakanlah selamat jalan untukku…”
Rasa sedih sudah sedemikian mencekik kerongkongannya, sehingga nyaris tidak lagi sanggup ia mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengatakan dengan ucapan yang telah bercampur air mata,”Selamat jalan Fathimah….” Fathimah melanjutkan, “Semoga Allah Yang Maha Pengasih menolongmu dalam menanggung penderitaan dan kesedihan ini dengan kesabaran. Sekarang biarkanlah aku sendiri dengan Tuhanku” Ketika Fathimah mengakhiri kata-katanya ini, ia langsung berpaling ke arah babut sajadah, lalu bersujud ke hadirat Allah.
Beberapa saat kemudian Sayyidina Ali memasuki ruangan. Ia mendapatkan Fathimah masih dalam keadaan bersujud tetapi jiwanya telah berangkat dijemput ayahnya menuju Rahmat Allah. Fathimah syahid dalam usia yang masih sangat muda, seperti yang dikatakan Sayyidina Ali : “Sekuntum bunga yang dipotong ketika sedang kuncup, dari Jannah kembali ke Jannah, dan telah meninggalkan semerbak wewangian ke dalam jiwaku!” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun…. Tak ada dan takkan ada derita yang lebih hebat dari yang pernah dialami oleh mereka Ahlul Bait. Ketika mengingat Fathimah maka yang terbayang oleh kita hanya derita dan sengsara, seolah Fathimah adalah derita itu sendiri dan kesengsaraan adalah Ahlul Bait itu sendiri.
Salamun ‘alaiki ya Fathimah…salamun alaiki ya Fathimah! Salamun alaikum ya Ahli Baitirasuul…..Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad!!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun….
Sumber : Fadilah
0 komentar:
Posting Komentar