By : Sri Lestari, Ssi., Apt
* Cerita ini adalah kisah nyata dan semoga kita mengambil pelajaran darinya
Beberapa hari yang lalu di suatu siang yang gerah karena awan yang bergelayut menjelang hujan, ada seorang laki-laki tua dan istrinya yang mendatangi tempat kerjaku. Dari penampilannya jelas tergambar mereka bukan orang berada. Ternyata mereka mau menawarkan madu yang mereka bawa didalam botol-botol yang dimasukkan ke dalam karung. Aku sempat berpikir, pasti berat membawanya berjalan kaki.
Si kakek menawarkan madunya dengan sikap yang menurutku sedikit agak kasar dan memaksa. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja karena mungkin begitulah adanya kesederhanaan yang mereka miliki. Aku sempat bertanya, dimana mereka tinggal dan mereka mengatakan tinggal di kampung yang dekat dengan hutan berbatasan dengan wilayah kabupaten lain.Wah, pasti jauh sekali. Terbayang olehku daerah kering di tepi hutan dengan rumah kecil-kecil mirip gubuk seperti yang sering aku lihat ketika aku naik kereta api pulang pergi ke Bandung.
Mereka juga membawa ember yang ditutup plastik yang berisi sarang lebah. Si kakek mengatakan bahwa dia membawa madu asli dan kalau mau bisa langsung diperas. Harga sebotolnya dia tawarkan 20 ribu, tapi karena dia mau segera pulang dia mau dibayar 100 ribu saja untuk 10 botol yang tersisa dengan wanti-wanti agar aku menjual ke orang lain dengan harga 20 ribu. Dia juga meyakinkan aku bahwa madu yang dia bawa itu asli dengan menuangkannya ke dalam air dan katanya madu itu tidak akan bercampur dengan air. Dia juga berani sumpah akan tertabrak motor kalau dia sampai berbohong.
Aku sedang sibuk berpikir, kasihan kakek ini datang dari jauh bersama istrinya untuk menjual madu yang mungkin uangnya untuk hidup beberapa hari. Aku langsung saja mengiyakan untuk membeli madu-madu itu. Bahkan aku tidak keberatan ketika si kakek meminta tambahan uang 5 ribu lagi. Dan aku tidak pernah berpikir untuk menjual kembali sepuluh botol madu itu. Aku teringat beberapa orang temanku yang sedang hamil dan sehari sebelumnya ada teman suamiku yang diopname di rumah sakit karena sariawan yang lumayan parah dan sempat pesan untuk dibawakan madu. Beberapa botol madu aku hadiahkan kepada teman kerjaku yang kebetulan ada di kantor pada saat itu. Beberapa aku simpan dan akan kuantar esok hari. Aku sempat membawa sebotol madu untuk suamiku yang kadang-kadang suka minta dibikinkan teh madu.
Ketika dalam perjalanan pulang dan sedang menunggu bis di halte aku ditanya oleh tukang becak yang memang sering ngobrol denganku. Dia menanyakan beli madu dimana, aku jawab ada orang yang jualan ke kantor. Kemudian dia menceritakan tentang kisahnya yang ditipu orang ketika membeli madu, yang ternyata bukan madu asli malah dia sendiri tidak berani mengkonsumsinya karena tidak tahu apa isi dari madu palsu itu.
Sesampainya di rumah, aku penasaran juga dengan madu yang aku beli. Aku mencicipinya sedikit ternyata rasanya tidak begitu manis. Aneh, pikirku. Kemudian aku tuang madu itu ketanganku, tidak lengket tapi lebih mirip larutan kanji yang sangat encer dan baunya juga aneh.Astaghfirullah, apakah .....aku ditipu? Aku masih tidak percaya ada kakek-kakek yang usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun bersama istrinya berbuat hal yang tercela seperti itu.
Sesaat aku sempat dongkol, aku rasanya sulit untuk mengikhlaskan apa yang telah mereka perbuat terhadapku. Aku segera menghubungi orang-orang yang telah aku beri hadiah madu itu agar tidak dikonsumsi karena aku sendiri juga tidak tahu apa isi sebenarnya botol-botol itu. Aku ceritakan kekesalanku pada suamiku. Dan suamiku menasehati bahwa walaupun aku tidak ikhlas tidak akan mengubah apapun. Sebenarnya aku bukan tidak ikhlas karena uang yang aku keluarkan, tapi yang aku sesalkan kenapa mereka yang sudah setua itu melakukan penipuan. Apakah tidak ada rasa takut dengan ajal yang semakin membayang di depan mata. Kenapa mereka tidak bilang saja jika mereka membutuhkan sejumlah uang, aku tidak akan keberatan membantu. Aku menyesalkan dosa yang telah mereka perbuat di penghujung usia disaat seharusnya kehidupan diisi dengan taubat dan kebaikan. Ini salah siapa? Mungkin juga salah kita yang sering mengabaikan orang-orang yang meminta pertolongan kepada kita. Ah...seandainya mereka mau jujur mengatakan mereka membutuhkan bantuan, betapa indahnya akhir dari cerita ini.
* Cerita ini adalah kisah nyata dan semoga kita mengambil pelajaran darinya
Beberapa hari yang lalu di suatu siang yang gerah karena awan yang bergelayut menjelang hujan, ada seorang laki-laki tua dan istrinya yang mendatangi tempat kerjaku. Dari penampilannya jelas tergambar mereka bukan orang berada. Ternyata mereka mau menawarkan madu yang mereka bawa didalam botol-botol yang dimasukkan ke dalam karung. Aku sempat berpikir, pasti berat membawanya berjalan kaki.
Si kakek menawarkan madunya dengan sikap yang menurutku sedikit agak kasar dan memaksa. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja karena mungkin begitulah adanya kesederhanaan yang mereka miliki. Aku sempat bertanya, dimana mereka tinggal dan mereka mengatakan tinggal di kampung yang dekat dengan hutan berbatasan dengan wilayah kabupaten lain.Wah, pasti jauh sekali. Terbayang olehku daerah kering di tepi hutan dengan rumah kecil-kecil mirip gubuk seperti yang sering aku lihat ketika aku naik kereta api pulang pergi ke Bandung.
Mereka juga membawa ember yang ditutup plastik yang berisi sarang lebah. Si kakek mengatakan bahwa dia membawa madu asli dan kalau mau bisa langsung diperas. Harga sebotolnya dia tawarkan 20 ribu, tapi karena dia mau segera pulang dia mau dibayar 100 ribu saja untuk 10 botol yang tersisa dengan wanti-wanti agar aku menjual ke orang lain dengan harga 20 ribu. Dia juga meyakinkan aku bahwa madu yang dia bawa itu asli dengan menuangkannya ke dalam air dan katanya madu itu tidak akan bercampur dengan air. Dia juga berani sumpah akan tertabrak motor kalau dia sampai berbohong.
Aku sedang sibuk berpikir, kasihan kakek ini datang dari jauh bersama istrinya untuk menjual madu yang mungkin uangnya untuk hidup beberapa hari. Aku langsung saja mengiyakan untuk membeli madu-madu itu. Bahkan aku tidak keberatan ketika si kakek meminta tambahan uang 5 ribu lagi. Dan aku tidak pernah berpikir untuk menjual kembali sepuluh botol madu itu. Aku teringat beberapa orang temanku yang sedang hamil dan sehari sebelumnya ada teman suamiku yang diopname di rumah sakit karena sariawan yang lumayan parah dan sempat pesan untuk dibawakan madu. Beberapa botol madu aku hadiahkan kepada teman kerjaku yang kebetulan ada di kantor pada saat itu. Beberapa aku simpan dan akan kuantar esok hari. Aku sempat membawa sebotol madu untuk suamiku yang kadang-kadang suka minta dibikinkan teh madu.
Ketika dalam perjalanan pulang dan sedang menunggu bis di halte aku ditanya oleh tukang becak yang memang sering ngobrol denganku. Dia menanyakan beli madu dimana, aku jawab ada orang yang jualan ke kantor. Kemudian dia menceritakan tentang kisahnya yang ditipu orang ketika membeli madu, yang ternyata bukan madu asli malah dia sendiri tidak berani mengkonsumsinya karena tidak tahu apa isi dari madu palsu itu.
Sesampainya di rumah, aku penasaran juga dengan madu yang aku beli. Aku mencicipinya sedikit ternyata rasanya tidak begitu manis. Aneh, pikirku. Kemudian aku tuang madu itu ketanganku, tidak lengket tapi lebih mirip larutan kanji yang sangat encer dan baunya juga aneh.Astaghfirullah, apakah .....aku ditipu? Aku masih tidak percaya ada kakek-kakek yang usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun bersama istrinya berbuat hal yang tercela seperti itu.
Sesaat aku sempat dongkol, aku rasanya sulit untuk mengikhlaskan apa yang telah mereka perbuat terhadapku. Aku segera menghubungi orang-orang yang telah aku beri hadiah madu itu agar tidak dikonsumsi karena aku sendiri juga tidak tahu apa isi sebenarnya botol-botol itu. Aku ceritakan kekesalanku pada suamiku. Dan suamiku menasehati bahwa walaupun aku tidak ikhlas tidak akan mengubah apapun. Sebenarnya aku bukan tidak ikhlas karena uang yang aku keluarkan, tapi yang aku sesalkan kenapa mereka yang sudah setua itu melakukan penipuan. Apakah tidak ada rasa takut dengan ajal yang semakin membayang di depan mata. Kenapa mereka tidak bilang saja jika mereka membutuhkan sejumlah uang, aku tidak akan keberatan membantu. Aku menyesalkan dosa yang telah mereka perbuat di penghujung usia disaat seharusnya kehidupan diisi dengan taubat dan kebaikan. Ini salah siapa? Mungkin juga salah kita yang sering mengabaikan orang-orang yang meminta pertolongan kepada kita. Ah...seandainya mereka mau jujur mengatakan mereka membutuhkan bantuan, betapa indahnya akhir dari cerita ini.
0 komentar:
Posting Komentar