Manusia merupakan makhluk yang paling mulia yang Allah SWT ciptakan diantara seluruh makhluk lain di dunia ini, demikian Allah SWT tegaskan dalam QS Al-Israa ayat 70; “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Kemuliaan yang Allah berikan disertai dengan segala potensi manusia, baik akal, alat indera, fisik, hati, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diaktualisasikan selain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya juga sebagai bentuk ekspresi syukur kepada sang Khaliq. Diantara sekian banyak umat manusia, mereka ada yang bersyukur (orang beriman) dan ada yang kufur (musyrik). Orang yang bersyukur inilah yang sesuai dengan harapan Allah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah nyatakan dalam QS.Al-Dzariyat ayat56: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku.”
Menjadi seorang mu’min tentulah harus menjadi seorang yang terbaik di antara mu’min yang lainnya. Predikat ini lah yang Rasulullah SAW harapkan agar menjadi mu’min yang berkualitas. Dalam beberapa haditsnya, Rasul SAW telah memberikan kriteria mu’min yang terbaik . Terdapat hadith ringkas tetapi sangat sangat maknanya. Ia dikutip dalam buku Al-Jami’ush Shaghir yang ditulis Imam Suyuthi. Hadithnya berbunyi, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan: Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak manfaat pada orang lain.
Khairunnaas anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini menjadi indikator berfungsinya nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Permisalan umum yang sering diungkapkan adalah “hiduplah bagai seekor lebah, jangan seperti lalat.”
Seekor lebah dia hidup selalu dari yang indah/bersih, dia hinggap di tangkai bunga tanpa mematahkannya, dia mengeluarkan sesuatu dzat yang sangat berguna atau menyehatkan yaitu madu. Sedangkan lalat, dia hidup selalu di lingkungan yang kotor, memberikan atau menyebarkan penyakit ke mana-mana.
Kalau kita coba menginstrospeksi diri kita, maka lihatlah keluarga kita, tetangga kita, saudara, kerabat, dan umat secara keseluruhan. Apakah mereka semua merasa senang ketika kita ada atau malah sebaliknya ? Secara filosofis keberadaan kita itu harus berimbas kemaslahatan buat yang lain bukan hanya sekedar diri kita saja.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan.
Pertama, kerena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw pernah bersabda yang bunyinya seperti ini: orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?
Kedua, kerena ia melakukan amal yang terbaik. Kaedah usul fiqh menyebutkan bahawa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat berbanding yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu boleh menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Kerena itu tidak hairan jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhal untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat sukar mendapatkann air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah tua dan tidak ada yang akan menjaga, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Ketiga, kerena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu keperluannya, maka itu lebih aku cintai daripada I’tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa keluh kesah, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.
Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayyit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Kerena itu di dalam surah At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baik amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahawa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
Untuk menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa perkara dalam diri kita.
Pertama, tingkatkan darjat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa keluh-kesah adalah amal yang hanya mengharap ridha kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt sahaja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan boleh beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk boleh memberi manfaat yang banyak kepada orang lain, kita harus mengikis habis sifat ego dan rasa serakah terhadap material dari diri kita. Allah swt memberi contoh kaum Anshar. Lihat surah Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka perlukan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah cukup secara finansial, tidak terdetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahawa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibahagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibahagikan. Itulah milik kita yang hakiki kerena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibahagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk kerena waktu, hilang kerena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tidak hairan jika dalam sejarah kita melihat bahawa para sahabat dan salafussaleh mudah saja menginfakkan wang yang mereka miliki. Sampai-sampai tidak terfikir untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa keluh-kesah kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahawa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk boleh memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, fikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita boleh memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita boleh mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita boleh membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosial, dengan begitu kita boleh hadir untuk orang-orang di sekitar kita.
MANUSIA TERBAIK
Suatu ketika, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beritahu siapa “manusia terbaik”?” Mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang jika kalian memandangnya, ia mengingatkan kalian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala”
Laa ilaaha illa Allah! Itu lah manusia “terbaik” menurut Sang Rasul. Luar biasa! Siapakah diantara kita yang pernah menyaksikan atau bertemu dengan orang seperti itu? Orang yang benar-benar memiliki kekuatan magis Ilahi. Dia mampu menembus qalbu-qalbu yang hidup dan bersemi di ‘ladang ketakwaan’. Mungkin kita belum pernah bertemu dengan orang yang seperti itu
Sebaliknya, kita malah sering bertatap muka atau bahkan bertetangga dengan orang yang mengingatkan kita kepada “kenikmatan duniawi”. Kita selalu –jika bertemu dengan orang ini–diingatkan kepada anak, istri, saudara, ladang, peternakan, pertanian, pekerjaan, duit, tabungan, ATM, deposito dan sawah kita. Semuanya adalah kenikmatan dunia. Ya, kenikmatan semu dan palliative
Perlu rasanya kita bertemu dan bersilaturahim dengan ‘orang ini’. Yang jika menatapnya, kita bergumam dalam hati, “Ya Allah.” Jika kita ngobrol dengannya, kita berucap refleks, “SubhanAllah.” Kalau kita berpapasan dengannya kita berkata, “Allahu Akbar.” Seandainya kita bertetangga dengannya, kita selalu mengatakan, “Masya Allah.” Bukan hanya itu, jika kita melihatnya selalu diingatkan akan neraka, dosa dan kesalahan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Kita perlu mencari teman yang mampu mengingatkan kepada kita akan nikmat-nikmat Allah. Kita butuh seseorang yang mampu membeberkan kepada kita isi kitab suci Al-Qur’an. Kita memerlukan sosok orang yang mampu menggetarkan qalbu kita ketika diceritakan tentang kepribadian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Kita juga sangat rindu kepada orang yang mampu membawa kita kepada dzikrullah, selalu ingat kepada Allah. Kapan itu bisa kita rasakan? Kapan itu bisa kita temui? Kapan itu bisa kita dapatkan? Kapan saja bisa. Saat ini juga bisa
Besok, insya Allah, bisa. Bahkan minggu depan juga mungkin. Kalau bisa hari ini kita melihat orang itu. Jangan tunggu hari esok. Jangan nanti minggu depan. Besok atau minggu depan, insya Allah mentari akan terbit seperti biasanya, karena itu pekerjaannya. Tapi mungkin kita sudah tidak ada lagi. Dan kita tidak akan bertemu dengan orang itu. Manusia terbaik yang dikatakan Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam
Indahnya kehidupan para sahabat. Jika Rasul Shalallahu’alaihi wa sallam bercerita tentang neraka, mereka ingat akan dosa-dosa mereka ketika zaman Jahiliyah dulu. Mereka pun menangis. Tak sadar buliran bersih dan jernih mengalir di pipi mereka. Jika Sang Nabi bercerita tentang surga Allah, mereka gembira dan berdoa agar bisa termasuk sebagai ahli surga. Mereka begitu berharap agar bisa bersatu dengan Rasulullah di dalam surga. Setiap malam mereka bangun untuk qiyamullail. Mereka begitu rindu kepada Allah. Berbeda dengan kita
Kita banyak diselimuti kemalasan. Orang bercerita tentang Allah kita tinggalkan. Orang berkisah tentang kehidupan Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam kita anggap ketinggalan zaman. Orang bertutur tentang kehidupan para sahabat kita klaim tidak kompatibel dengan globalisasi. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa “surga dan neraka” itu tidak ada. Akhirat itu bohong. Surga itu hanya ‘opium’ yang membius masyarakat. Allah tidak ada. Allah adalah ilusi manusia yang terlalu mengikutkan perasaannya saja
Jika demikian, kapan kita akan merasakan kehadiran ‘Manusia Terbaik’ itu? Sementara ‘keran-keran’ yang mengarah ke sana sudah kita putus. Hidayah-hidayah menuju Allah sudah kita tolak mentah-mentah. Kita banyak yang apriori. Kita banyak merasa sudah tahu tentang Allah. Kita merasa sudah pintar, sudah hebat, sudah jago, dslb. Padahal “sekulit ari” pun belum sampai pengetahuan kita tentang Allah
Sekarang tahu kan caranya bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu?
Caranya adalah: cari keran-keran yang mengalirkan dan menghanyutkan kita kepada orang-orang yang berbicara tentang Allah. Tentang dzat-Nya, sifat-Nya, nama-nama-Nya yang baik (Asma’ul Husna), ciptaan-Nya, alam semesta-Nya, laut-Nya, daratan-Nya, hewan-Nya, air-Nya, bencana-Nya, nikmat-Nya, murka-Nya, ‘sindiran’-Nya, cobaan-Nya, cinta-Nya, ampunan-Nya, ‘senyum’-Nya, kasih-sayang-Nya, keindahan-Nya, dlsb
Jika bertemu dengan orang itu, pastikan bahwa kita telah bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu
Kemuliaan yang Allah berikan disertai dengan segala potensi manusia, baik akal, alat indera, fisik, hati, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diaktualisasikan selain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya juga sebagai bentuk ekspresi syukur kepada sang Khaliq. Diantara sekian banyak umat manusia, mereka ada yang bersyukur (orang beriman) dan ada yang kufur (musyrik). Orang yang bersyukur inilah yang sesuai dengan harapan Allah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah nyatakan dalam QS.Al-Dzariyat ayat56: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku.”
Menjadi seorang mu’min tentulah harus menjadi seorang yang terbaik di antara mu’min yang lainnya. Predikat ini lah yang Rasulullah SAW harapkan agar menjadi mu’min yang berkualitas. Dalam beberapa haditsnya, Rasul SAW telah memberikan kriteria mu’min yang terbaik . Terdapat hadith ringkas tetapi sangat sangat maknanya. Ia dikutip dalam buku Al-Jami’ush Shaghir yang ditulis Imam Suyuthi. Hadithnya berbunyi, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan: Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak manfaat pada orang lain.
Khairunnaas anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini menjadi indikator berfungsinya nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Permisalan umum yang sering diungkapkan adalah “hiduplah bagai seekor lebah, jangan seperti lalat.”
Seekor lebah dia hidup selalu dari yang indah/bersih, dia hinggap di tangkai bunga tanpa mematahkannya, dia mengeluarkan sesuatu dzat yang sangat berguna atau menyehatkan yaitu madu. Sedangkan lalat, dia hidup selalu di lingkungan yang kotor, memberikan atau menyebarkan penyakit ke mana-mana.
Kalau kita coba menginstrospeksi diri kita, maka lihatlah keluarga kita, tetangga kita, saudara, kerabat, dan umat secara keseluruhan. Apakah mereka semua merasa senang ketika kita ada atau malah sebaliknya ? Secara filosofis keberadaan kita itu harus berimbas kemaslahatan buat yang lain bukan hanya sekedar diri kita saja.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan.
Pertama, kerena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw pernah bersabda yang bunyinya seperti ini: orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?
Kedua, kerena ia melakukan amal yang terbaik. Kaedah usul fiqh menyebutkan bahawa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat berbanding yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu boleh menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Kerena itu tidak hairan jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhal untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat sukar mendapatkann air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah tua dan tidak ada yang akan menjaga, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Ketiga, kerena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu keperluannya, maka itu lebih aku cintai daripada I’tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa keluh kesah, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.
Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayyit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Kerena itu di dalam surah At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baik amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahawa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
Untuk menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa perkara dalam diri kita.
Pertama, tingkatkan darjat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa keluh-kesah adalah amal yang hanya mengharap ridha kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt sahaja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan boleh beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk boleh memberi manfaat yang banyak kepada orang lain, kita harus mengikis habis sifat ego dan rasa serakah terhadap material dari diri kita. Allah swt memberi contoh kaum Anshar. Lihat surah Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka perlukan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah cukup secara finansial, tidak terdetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahawa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibahagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibahagikan. Itulah milik kita yang hakiki kerena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibahagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk kerena waktu, hilang kerena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tidak hairan jika dalam sejarah kita melihat bahawa para sahabat dan salafussaleh mudah saja menginfakkan wang yang mereka miliki. Sampai-sampai tidak terfikir untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa keluh-kesah kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahawa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk boleh memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, fikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita boleh memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita boleh mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita boleh membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosial, dengan begitu kita boleh hadir untuk orang-orang di sekitar kita.
MANUSIA TERBAIK
Suatu ketika, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beritahu siapa “manusia terbaik”?” Mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang jika kalian memandangnya, ia mengingatkan kalian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala”
Laa ilaaha illa Allah! Itu lah manusia “terbaik” menurut Sang Rasul. Luar biasa! Siapakah diantara kita yang pernah menyaksikan atau bertemu dengan orang seperti itu? Orang yang benar-benar memiliki kekuatan magis Ilahi. Dia mampu menembus qalbu-qalbu yang hidup dan bersemi di ‘ladang ketakwaan’. Mungkin kita belum pernah bertemu dengan orang yang seperti itu
Sebaliknya, kita malah sering bertatap muka atau bahkan bertetangga dengan orang yang mengingatkan kita kepada “kenikmatan duniawi”. Kita selalu –jika bertemu dengan orang ini–diingatkan kepada anak, istri, saudara, ladang, peternakan, pertanian, pekerjaan, duit, tabungan, ATM, deposito dan sawah kita. Semuanya adalah kenikmatan dunia. Ya, kenikmatan semu dan palliative
Perlu rasanya kita bertemu dan bersilaturahim dengan ‘orang ini’. Yang jika menatapnya, kita bergumam dalam hati, “Ya Allah.” Jika kita ngobrol dengannya, kita berucap refleks, “SubhanAllah.” Kalau kita berpapasan dengannya kita berkata, “Allahu Akbar.” Seandainya kita bertetangga dengannya, kita selalu mengatakan, “Masya Allah.” Bukan hanya itu, jika kita melihatnya selalu diingatkan akan neraka, dosa dan kesalahan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Kita perlu mencari teman yang mampu mengingatkan kepada kita akan nikmat-nikmat Allah. Kita butuh seseorang yang mampu membeberkan kepada kita isi kitab suci Al-Qur’an. Kita memerlukan sosok orang yang mampu menggetarkan qalbu kita ketika diceritakan tentang kepribadian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Kita juga sangat rindu kepada orang yang mampu membawa kita kepada dzikrullah, selalu ingat kepada Allah. Kapan itu bisa kita rasakan? Kapan itu bisa kita temui? Kapan itu bisa kita dapatkan? Kapan saja bisa. Saat ini juga bisa
Besok, insya Allah, bisa. Bahkan minggu depan juga mungkin. Kalau bisa hari ini kita melihat orang itu. Jangan tunggu hari esok. Jangan nanti minggu depan. Besok atau minggu depan, insya Allah mentari akan terbit seperti biasanya, karena itu pekerjaannya. Tapi mungkin kita sudah tidak ada lagi. Dan kita tidak akan bertemu dengan orang itu. Manusia terbaik yang dikatakan Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam
Indahnya kehidupan para sahabat. Jika Rasul Shalallahu’alaihi wa sallam bercerita tentang neraka, mereka ingat akan dosa-dosa mereka ketika zaman Jahiliyah dulu. Mereka pun menangis. Tak sadar buliran bersih dan jernih mengalir di pipi mereka. Jika Sang Nabi bercerita tentang surga Allah, mereka gembira dan berdoa agar bisa termasuk sebagai ahli surga. Mereka begitu berharap agar bisa bersatu dengan Rasulullah di dalam surga. Setiap malam mereka bangun untuk qiyamullail. Mereka begitu rindu kepada Allah. Berbeda dengan kita
Kita banyak diselimuti kemalasan. Orang bercerita tentang Allah kita tinggalkan. Orang berkisah tentang kehidupan Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam kita anggap ketinggalan zaman. Orang bertutur tentang kehidupan para sahabat kita klaim tidak kompatibel dengan globalisasi. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa “surga dan neraka” itu tidak ada. Akhirat itu bohong. Surga itu hanya ‘opium’ yang membius masyarakat. Allah tidak ada. Allah adalah ilusi manusia yang terlalu mengikutkan perasaannya saja
Jika demikian, kapan kita akan merasakan kehadiran ‘Manusia Terbaik’ itu? Sementara ‘keran-keran’ yang mengarah ke sana sudah kita putus. Hidayah-hidayah menuju Allah sudah kita tolak mentah-mentah. Kita banyak yang apriori. Kita banyak merasa sudah tahu tentang Allah. Kita merasa sudah pintar, sudah hebat, sudah jago, dslb. Padahal “sekulit ari” pun belum sampai pengetahuan kita tentang Allah
Sekarang tahu kan caranya bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu?
Caranya adalah: cari keran-keran yang mengalirkan dan menghanyutkan kita kepada orang-orang yang berbicara tentang Allah. Tentang dzat-Nya, sifat-Nya, nama-nama-Nya yang baik (Asma’ul Husna), ciptaan-Nya, alam semesta-Nya, laut-Nya, daratan-Nya, hewan-Nya, air-Nya, bencana-Nya, nikmat-Nya, murka-Nya, ‘sindiran’-Nya, cobaan-Nya, cinta-Nya, ampunan-Nya, ‘senyum’-Nya, kasih-sayang-Nya, keindahan-Nya, dlsb
Jika bertemu dengan orang itu, pastikan bahwa kita telah bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu
“Ya Allah, pertemukan kami dengan ‘Manusia Terbaik’ itu. Yang mampu membuat qalbu-qalbu kami mampu menembus hijab yang selama ini menutupi mata kasat kami dari melihatmu. Jadikan qalbu kami bercahaya. Ya, cahaya yang mampu menembus kegelapan ‘kabut cinta’ yang menghalangi cinta kami kepada-Mu. Ya Rasulallah, ya Nabiyallah, semoga kami bisa bertemu dengan orang yang kau katakan itu. Kami rindu mereka, kami menginginkan kehadiran mereka. Semoga kami cepat bertemu dengan mereka. Kami ingin bertemu mereka secepatnya, saat ini juga.”
0 komentar:
Posting Komentar