“Allah telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya lagi sangat kufur.” (QS Ibrahim [14]: 13). Kemiskinan senantiasa menjadi isu sentral di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-negara lain pun, termasuk negara adidaya, tak luput dari kemiskinan.
KEMISKINAN BUKAN TAKDIR ALLAH YANG TIDAK BISA DIRUBAH!!
Pun begitu dengan Indonesia. Negara kita setelah kemerdekaan hingga sekarang memiliki problem kemiskinan. Sebagai salah satu negara dengan jumlah Muslim terbesar, hendaknya kita berpikir untuk menyelesaikan kemiskinan dengan landasan nilai-nilai luhur keislaman. Secara hakikat, seluruh manusia tak berada pada kemiskinan.
Ayat yang dikutip di atas mengindikasikan semiskin dan sefakir apa pun seseorang, ia masih diberikan nikmat tak terhingga oleh Allah. Kendati mendapatkan kesulitan dalam memperoleh keamanan finansial, kita masih diberi nikmat-nikmat dalam bentuk lain. Kenikmatan tersebut dapat berupa kesehatan, umur panjang, dan memperoleh tempat teduh meskipun seadanya.
Istilah ‘miskin’ diambil dari bahasa Arab. Merujuk pada kamus Al-Munawwir (1997: 649), kata ‘miskin’ berasal dari sakana yang berarti diam, tidak bergerak, atau tenang. Faidhullah Al-Hisn menulis, kata ‘miskin’ dalam bentuk mufrad disebutkan Alquran sekitar 12 kali, kemudian dalam bentuk jamak (masaakin) disebut juga sekitar 12 kali. Dari sekian ayat itu, seluruhnya menempatkan posisi si miskin sebagai orang yang perlu dibantu. Dalam bahasa lain, si miskin dan si fakir memiliki ketidakberdayaan akibat berbagai hal. Dua di antaranya ialah akibat penindasan struktural dan kemalasan mental berusaha (kultural). Misalnya, secara struktural kemiskinan diakibatkan rakyat tidak diperhatikan dengan adanya kebijakan prorakyat, yang berdampak pada aspek kultural sehingga mereka putus asa karena kesulitan mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Sebetulnya, kemiskinan bukan takdir dari Allah yang tak dapat diubah. Apabila setiap individu memiliki semangat dalam mencari penghasilan, kemiskinan dapat diberantas dari muka bumi.
Kolektivitas dan kepedulian sejatinya dimanifestasikan dalam keseharian saat negeri ini dipenuhi kemiskinan. Allah SWT berfirman, “Apabila telah selesai shalat (Jumat), bertebaranlah di bumi dan carilah fadl (kelebihan) dari Allah.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 10). Ayat ini mengindikasikan bahwa kerja keras mencari nafkah sebagai tahap mencari fadhilah-Nya. Tanpa mengabaikan kerja keras orang miskin, tugas individu yang bernasib baik (baca: kaya dan mampu) ialah memberikan sebagian hartanya. Pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah menuntut pengelolaan profesional agar kemiskinan dapat diminimalisasi. Wallahua’lam.
SUMBER ; REPUBLIKA.CO.ID
P.S :
0 komentar:
Posting Komentar