Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina maka Nina
pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi.
Nina pun mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami
mendobrak pintu kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai
tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas
kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun bertambah
bingung apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir
panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan
berlari keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak
hingga menjadikan orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu
Nina. Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa
melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina
beranjak untuk melaksanakan shalat shubuh di masjid, aku pun turut
shalat. Namun setelah shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana.
Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang
kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan
diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia bosan
telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis
sehingga pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter,
paru-paru Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi…
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun
membaca dan membalas SMS tersebut. Aku juga membuka beberapa SMS yang
masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak
sekali orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama
Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari
perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah
pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku. Setelah Nina tersadar
dari pingsannya, aku menunjukkan SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya
dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas SMS
dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya melarangku untuk memegang
HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.
Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan saudari-saudarinya
untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku
mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi
berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk
berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada
hal-hal seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non
Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai karena
Alloh bukan atss dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu kan sikap Nina
selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara
benar. Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang
Islam dari Nina dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan
shalat lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku merasakan
ketenangan dan ketentraman selama menjalankannya dan menimbulkan
perasaan rindu kepada Alloh untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi
fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau
memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya karena Alloh…..
Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung mama
kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya,
Qadarulloh (atas kehendak Alloh), aku tidak berhasil mempertemukan
mereka. Yang ada kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga
tiba-tiba kambuh sehingga aku pun haus dirawat di rumah sakit. Orang
tua Nina datang dan membawanya kembali ke kota Makassar tanpa
sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname.
Di kota Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena
papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit
dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di
manakah ia berada. Karena kondisinya masih lemah, diapun tak bisa
berbuat apa-apa, bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan
dipindahkan dari satu tempat ke tempat yag satunya agar tidak tahu di
mana keberadaaannya, karena papanya tidak ingin ada akhwat yang
menjenguk Nina. Sampai HPnya pun diambil dari Nina.
Namun, karena Nina masih mempunyai HP yang ia sembunyian dari
papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui
saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di dalam kamar. Mendengar
hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat bicara
dengannya dari balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang
ustadz di sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz
tersebut aku pun diajak ta’lim beberapa hari dan aku menginap di sana.
Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi.
Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina,
bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami
dipercepat.
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan
sangat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami
beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung
mengantar ustadz sekalian shalat dhuhur.
Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan cinta yang
tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah
mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh…..Itulah
doaku saat itu.
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar
mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai,
dari hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya
terlihat ada goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit,
diperjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya
memanggilku dan berkata agar aku harus tetap di jalan yang diridhai-Nya
sambil memegang erat tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan
melihat keadaan Nina yang terus berdzikir sambil menangis…..Dia juga
selalu menanyakan saudari-saudarinya dimana ?
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan Nina
tergores. Aku pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata,
tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan
keluar dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar
melalui jendela sehingga menyebabkan tangannya tergores. Nina tak
kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari
kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui
saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari telah larut
malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudariku karena sudah tak ada
waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah
bebrapa saat melangkah.
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak
ada yang menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang
saudarinya untuk menemani. Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah
tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah
harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya…. Dokter menyuruhku keluar.
Pada saat itu kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis SMS
kepada saudari Nina untuk memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun
begitu dokter keluar, masya Alloh !
Denyut jantung Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan koma. Aku
hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan
tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga…..
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku segera
bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar
Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat
Jum’at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap
dia akan membuka matanya.
Begitu lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung
berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil
dokter, tapi qadarulloh istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya
dari dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat
Jum’at, lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir
kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat
berseri…..
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima
takdir-Nya. Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika memang Alloh
memangilku lebih awal dengan doa, “Ya Alloh, berilah kesabaran dan
pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.”
Setelah pemakaman, aku langsung balik ke Jakarta karena kondisiku
yang kurang stabil…Astaghfirullah !!! aku lupa memberitahu
saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut dalam kesedihan,
hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa
Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan
kepergian saudari mereka yang mereka cintai karena Alloh. Dari ketiga
saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat
membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?
Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina selalu
memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina
terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan
saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya
dan kesalahan diriku pribadi.
“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta
akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah.
Syukran atas perhatian kalian….”
•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•-•♥•
Tak beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim Muda
Elfata, redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina.
Isi SMS tersebut adalah, “Afwan , mungkin perlu Elfata sampaikan kepada
pembaca mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Alloh’ di mana
Kak Nina telah meninggal dan kini Kak Adhit pun telah tiada. Kurang
lebih 2 pekan (Kak Adhit –red) dirawat di rumah sakit karena penyakit
pada paru-parunya. Sebelum sempat dioperasi, maut telah menjemputnya.
Ana menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam,
memberi dukungan ke Kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang
yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, Kak Adhit bagaimana ? Ana
salah satu ukhti dalam cerita tersebut…Syukran.”
PERCIK RENUNGAN
Subhanalloh ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita jadikan sebuah
cermin untuk berkaca. Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak meladeni
tawaran cinta asmara yang tak terselimuti indahnya syariat. Padahal
Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan, pertolongan, dan
sandaran bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi
sesulit apapun, kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.
Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam
berkonsisten dengan syariat ini. Bahkan bisa jadi kesulitan demi
kesulitan yang kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita telah
mengamalkan ajaran agama ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang
akan syariat ini seringkali menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya
rambu-rambu yang telah dicanangkan agama.
Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi titik awal
seseorang merasakan indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana yang
terjadi pada Adhit, ikhwan yang menceritakan kisahnya ini. Semoga Alloh
merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua dan
menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih yang dijanjikan surga-Nya. Aamiin.
Sumber: Kumpulan KISAH NYATA UNGGULAN Majalah ELFATA ‘Seindah Cinta ketika Berlabuh’, 2008, FAtaMeDia
0 komentar:
Posting Komentar