Hana semakin menundukkan kepala. Bulir-bulir keringat dingin membasahi pelipis dan telapak tangannya. Dia tak pernah menyangka akan mendapatkan tawaran ini dari orangtua asuhnya.
“Apa Mas Irfan kurang tampan? Kurang gagah?” goda Pak Cipto sembari tersenyum lembut.
Pipi Hana bersemu merah. Sekelebat bayangan Irfan, putra tunggal orang tua asuhnya itu melintas. Dokter muda tampan dengan bergudang prestasi. Keshalihannya tak diragukan lagi. Hana mendesah gelisah. Cepat ditepis bayangan itu seraya beristighfar.
“Bagaimana, Nduk? Hanya kamu yang kami harapkan. Bapak dan Ibu tak pernah ragu memilihmu untuk mendampingi Irfan. Insya Allah, akan lahir mujahid-mujahid sejati dari pernikahan kalian,” suara Bu Cipto yang biasanya lembut dan sejuk itu, kini menjelma halilintar di telinga Hana. Kepalanya mendadak pening.
Mendampingi Irfan? Hana tak pernah ragu sedikitpun dengan keshalihan Irfan. Toh, Hana mengenal Irfan bukan sehari dua hari. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak keluarga Cipto mengangkatnya anak asuh. Selisih usia mereka lima tahun. Tapi…bukankah Irfan sudah beristri? Tegakah dia menjadi madu Mbak Tantri? Mbak Tantri yang lembut, baik dan sangat ia hormati sekaligus sayangi.
“Ibu tidak bermaksud merendahkanmu dengan tawaran ini, Nduk. Maafkan Ibu kalau tawaran ini melukai perasaanmu…”
“Ah, em…eh, bukan begitu Bu… hanya…”
“Ibu tahu, menjadi istri kedua bukan keputusan yang main-main. Pikirkanlah tawaran ini masak-masak sebelum mengambil keputusan.”
“Ambillah waktu berapa saja untuk berpikir dan memohon petunjuk Allah. Apapun keputusanmu, kami akan menerima dengan lapang dada. Insya Allah…” Pak Cipto menambahkan. Bu Cipto mengangguk-angguk.
Hana masih terdiam. Gagu. Sepoi angin senja kota Malang yang dingin tak mampu menahan keringat yang mengucur deras membasahi jilbabnya. Dadanya sesak. Ada beban yang tiba-tiba menggumpal memenuhi ruang batinnya.
“Insya Allah, akan saya pikirkan Pak, Bu. Saya mohon pamit dulu, tadi ndak pamit Emak mau pulang sore. Assalamu’alaikum…” ucap Hana seraya meninggalkan ruang samping keluarga Cipto yang asri.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan ya, Nduk…” jawab Pak dan Bu Cipto hampir bersamaan. Kebanggaan akan Hana meluapi wajah pasangan tua itu. Mereka tersenyum sambil menatap punggung Hana yang menghilang di balik pintu depan.
***
Sesampai di rumah, Hana serta merta memeluk Emak yang menyulam di samping jendela. Kebiasaan yang selalu dilakukan Hana ketika hatinya gundah. Tangan Emak mengelus kepalanya lembut. Hana semakin tenggelam dalam kemanjaan. Seperti bocah kecil yang lama tak berjumpa dengan ibunya. Bagi Hana, elusan tangan Emak adalah pengobar semangat yang selalu dirindukannya kala letih.
Hana menatap wajah renta Emaknya dalam-dalam. Kerut di kedua pipinya kian melorot di makan usia. Namun keikhlasan dan ketulusan yang memancar dari matanya tak pernah pudar. Sejak Apak tiada setahun yang lalu, Emak berjualan di pasar. Dua adiknya, Amah dan Didin kadang membantu Emak di sela sekolahnya. Emak tak pernah mengijinkan sekolah mereka terganggu. Untung Amah dan Didin selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Hana sendiri lebih sering berada di rumah keluarga Cipto sejak diangkat anak asuh.
“Ana apa se?” tanya Emak ketika anak gadisnya tak kunjung bicara dan hanya menatap. Hana diam. Perlahan tangan Emak diraih dan di cium lembut. Air mata yang berdesakan disudut matanya meleleh kini.
“Maafkan aku, Mak…”
Emak mengeryitkan dahi. Tak mengerti.
“Ana apa se, Nduk?” ulang Emak sambil meletakkan kain sulamannya.
Hana tergugu dalam tangisnya. Dia merasa sangat berdosa di hadapan wanita tercinta ini. Apa kata Emak nanti saat dia berterus terang tentang tawaran keluarga Cipto. Sedih? Marah? Kecewa? Atau….ah, entahlah. Hana tahu, masih banyak yang harus dia lakukan untuk Emak dan dua adiknya. Mereka sangat membutuhkan Hana. Hana ingin menyelesaikan kuliahnya yang kini menginjak tahun ketiga itu lebih cepat dan bekerja untuk membiayai adik-adiknya. Namun tawaran itu? Keluarga Cipto juga tak mungkin diabaikan begitu saja. Mereka teramat baik untuk di kecewakan.
“Ke…keluarga Cipto, Mak…” ucap Hana terbata. Wajahnya berlinang air mata.
“Oh…itu…” Emak tersenyum. “Emak sudah di ajak bicara sama Bapak Ibumu tentang tawaran itu kok, Nduk. Bahkan Den Irfan sama istrinya juga sudah meminta sama Emak.”
“Hah?! Mbak Tantri? Lantas?” Hana tercekat. Tak menyangka Emak sudah lebih dulu tahu tentang tawaran itu.
“Emak bilang pada mereka, bahwa tawaran ini sepenuhnya kamu yang memutuskan. Emak hanya merestui saja apa yang menjadi keputusanmu. Asal keputusan itu melibatkan Allah.”
“Emak tak marah, kecewa atau sedih?” kejar Hana.
“Nduk…nduk…koen niku ngomong apa se? Apa alasan Emak marah sama kamu? Toh, niat mereka baik.”
“Jadi Emak suka aku jadi istri kedua?” Hana menggigil mengucapkan kata ‘istri kedua’. Jujur saja, Hana merasa belum siap melakukan itu. Menjadi madu buat Mbak Tantri, istri pertama Mas Irfan.
“Bukan masalah suka atau tak suka. Lebih baik memohonlah pada Allah, isthikarahlah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui .”
Hana mengangguk. Di seka air matanya. Perlahan dia beranjak meninggalkan Emak. Kepalanya serasa makin berat.
“Nduk, Emak baru tahu kalau Den Irfan itu gagah dan baik sekali. Seandainya Emak yang di tawari, hm, Emak pasti mau, he he he…” goda Emak sambil tertawa halus. Sambil menuang air putih ke gelas, Hana merengut. Emak ada-ada saja, pikirnya. Tapi dalam hati kecilnya, Hana tak mengingkari kata-kata Emak tentang Irfan. Mendadak Hana tersipu malu.
“Kalau kamu tersipu, berarti benar kan kata Emak tentang Den Irfan?” goda Emak lagi.
“Ih, Emak kok ngono se?” Hana semakin merengut. Dilangkahkah kakinya menuju kamar. Emak tertawa berderai.
***
Gerimis datang sehabis subuh. Udara di sekitar perkebunan apel semakin menggigilkan, membuat orang-orang enggan beranjak dari balik selimut tebalnya. Semalaman Hana tak memejamkan mata. Sudah seminggu sejak tawaran itu, Hana terserang insomnia dadakan. Beban berat bergelayut di kepalanya. Dia sengaja tak ke rumah keluarga Cipto sebelum membawa jawaban.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara seolah bersaing dengan hujan yang menderas. Hana melipat mukena dan sarungnya, menyambar jilbab lalu beranjak membuka pintu. Siapa sepagi ini sudah bertamu? Batinnya bertanya-tanya.
Pintu terbuka dan Hana terpaku melihat siapa yang datang bertamu. Seorang wanita dengan jilbab lebar sedang tersenyum lembut. Wajah teduhnya yang pucat tampak basah oleh hujan.
“Mbak Tantri? Eh, em, Wa…wa’alaikumussalam…” jawab Hana gugup.
“Ehm! Boleh masuk Dik ?” goda Tantri melihat Hana terbengong-bengong.
“Walah…kon niku yak apa se Na, ada tamu kok di biarkan saja…” saut Emak yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Hana tersipu. Entah mengapa, menatap wajah teduh Tantri lidahnya mendadak kelu. Melukai hatinyakah tawaran itu? Hati Hana tambah gelisah. Keluarga Cipto sebenarnya sudah mengatakan kerelaan Tantri untuk di madu, namun tetap saja hati Hana tak enak.
“Kok pagi sekali Ning Tantri? Ada apa?” tanya Emak setelah mempersilakan Tantri duduk.
“Iya Mak, maaf kalau pagi-pagi sudah mengganggu. Takutnya kalau siang, Emak sama Dik Hana pergi. Saya ingin bicara sama Dik Hana.”
Deg! Jantung Hana rasanya berhenti berdetak. Dua tangannya yang sedari tadi meremas-remas ujung jilbab kian gemetar. Hana tak kuasa menatap senyum Tantri yang terus mengembang. Dia tak ingin menjadi madu yang akan melukakan hati bening di hadapannya.
“Oh, monggo Ning, monggo. Oh ya, Ning Tantri mau Emak bikinkan teh hangat?”
“Tak usah repot Mak, temani Hana disini saja. Saya juga butuh kehadiran Emak dalam pembicaraan ini,” ujar Tantri seraya meraih tangan Emak untuk kembali duduk.
“Dik Hana, Emak, kedatangan saya kesini…” Tantri memulai pembicaraan. Senyumnya masih mengembang. Namun wajahnya kian memucat. Mata itu menjadi redup, seperti lampu kehabisan minyak. Ada bongkahan kaca yang siap meleleh di sudut-sudutnya. Inikah luka? Hana menggigit bibirnya.
“Saya memang menyetujui Mas Irfan menikah lagi. Tapi entah mengapa, tiba-tiba saya gundah luar biasa ketika Bapak dan Ibu benar-benar menawarkan rencana ini pada Dik Hana. Saya….”
Bongkahan kaca di mata Tantri meleleh kini. Menciptakan alur-alur sungai kecil yang kian menderas. Hana memejamkan mata. Ada perih menyelinapi relung hatinya. Ketakutannya menjelma nyata. Tawaran itu melukai Tantri.
“Maafkan saya Dik Hana. Sebenarnya saya malu dengan diri saya sendiri . Saya ini mandul, bahkan sebentar lagi rahim saya diangkat karena kanker, tapi masih saja egois. Saya belum bisa ikhlas merelakan satu sisi hati Mas Irfan diisi oleh yang lain. Padahal seharusnya, dengan keadaan saya ini, saya bisa memberikan yang terbaik untuk Islam meski hanya dengan merelakan di madu. Agar potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan keturunannya tak terputus. Tapi kenyataannya? Huuu…huuuu…” suara Tantri diantara tangisnya. Hana masih diam. “Namun selebihnya keputusan ditangan Adik, untuk menerima atau menolak. Saya akan mencoba mengatasi perasaan saya… “
“Tapi Mbak, Hana tak akan melukai hati Mbak dengan memiliki Mas Irfan. Dan Hana tak akan menerima tawaran itu tanpa keikhlasan Mbak Tantri, ” potong Hana setelah mengumpulkan sekian banyak keberanian untuk bicara.
“Maafkan saya, Dik. Tolong jangan bilang ke Mas Irfan tentang keresahan saya ini. Saya malu. Biarkan saya berusaha mengatasi perasaan saya perlahan-lahan. Insya Allah bisa.”
Hana terpekur. Tangis Tantri sedikit reda. Hanya sedu sedannya yang masih terdengar. Emak mengambilkan teh hangat. Beberapa saat ketiganya tenggelam dalam dialog hatinya masing-masing. Hujan menjelang reda ketika Tantri berpamitan. Meninggalkan nyeri dalam dada Emak dan Hana. Beban di kepala Hana terasa kian berat.
***
Minggu demi minggu berlalu. Hana belum juga memberikan tanggapan atas tawaran keluarga Cipto. Hatinya kian gundah. Sejak kedatangan Tantri di rumahnya pagi itu, Hana belum pernah sekalipun bertandang ke rumah keluarga Cipto. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan kesana. Sebenarnya, tak kurang-kurangnya Hana minta masukan tentang masalah ini pada orang-orang terdekatnya. Beberapa kali dia berdiskusi dengan teman-teman kampusnya, teman-teman pengajian juga gurunya pengajiannya. Namun sampai detik ini belum juga ia menemukan jawaban yang tepat. Istikharahnya juga belum membuatnya mantab. Untuk menerima atau menolak. Seperti menelan biji simalakama. Ditelan Tantri mati, tak ditelan Bapak-Ibu asuhnya yang mati.
“Belum tidur, Nduk?”
Hana tergeragap. Emak menyentuh pundaknya lembut. Hana hanya menjawab dengan gelengan. Diliriknya jam dinding. 12.30 malam. Hm, berarti sudah tiga jam paper yang dikerjakannya tak juga selesai. Konsentrasinya benar-benar terpecah. Nilai kuisnya saja kemarin jeblok. Duh!
“Jangan terlalu dipikirkan, lihat badanmu jadi kurus. Ikut kata hatimu saja. Insya Allah keluarga Cipto akan menerima apapun keputusanmu. Daripada malah seperti menghindar begini,” kata Emak sambil duduk di hadapan Hana. Kedua adiknya sudah terlelap.
Hana mencoba untuk tersenyum tapi yang terbentuk justru bukan senyuman. Bulir-bulir airmata berdesakan disudut matanya. Menangis. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini? Pikir Hana kesal pada dirinya sendiri. Sejak tawaran itu dilontarkan padanya, Hana jadi sering menangis. Dulu ketika harus membantu Emak berjualan di pasar, tidak makan dua hari karena tak ada yang di makan, Hana tak pernah mengeluh apalagi menangis. Tapi masalah ini, benar-benar terasa membebaninya.
“Allah tak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan kita, Nduk. Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat…”
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan menghentikan kata-kata Emak. Mereka berpaling kearah pintu. Hana kembali melirik jam dinding. Siapa jam segini bertamu? Malingkah? Mereka terdiam beberapa saat. Ketakutan.
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara kini mengiringi ketukan. Hana mengeryit. Sepertinya dia familiar dengan suara itu. Emak juga memberikan isyarat pada Hana demikian. Setelah mengumpulkan keberanian, mereka beranjak membukakan pintu.
Seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Kegelisahan tergambar jelas di matanya. Dokter Irfan. Ada apa malam-malam begini datang bertamu? Jantung Hana berloncatan kesana-kemari.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawab Emak dan Hana bersamaan setelah sesaat terbengong-bengong dengan tamunya.
“Silakan masuk, Dokter. Ada apa kok tumben malam-malam?” Emak mempersilakan tamunya masuk. Hana mengikuti di belakang Emak.
“Maaf Emak dan Dik Hana, malam-malam bertamu. Ada kabar yang ingin saya sampaikan. Tentang Dik Tantri…”
Deg! Jantung Hana semakin keras berlompatan. Ada apa dengan Mbak Tantri?
“Kenapa Ning Tantri, Den ?”
“Sebenarnya sudah seminggu ini Dik Tantri opname di rumah sakit…”
“Opname? Kenapa Mbak Tantri Mas?” potong Hana tak sabar. Kekhawatiran membayang di wajahnya.
“Karena sakit Dik Tantri semakin hari semakin parah, tadi siang operasi pengangkatan rahim di jalankan. Tapi… operasi itu kurang berjalan mulus. Menjelang maghrib Dik Tantri menghadap Rabb-Nya.“ suara Dokter Irfan basah.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun…” Hana memegang tangan Emak erat. Seluruh kepiluan serasa mengaliri darahnya.
“Selain mengabarkan hal tersebut, saya menyampaikan surat wasiat yang ditulis Dik Tantri buat Dik Hana. Maaf, saya mohon pamit dulu. Ada beberapa keluarga yang mesti dikabari. Assalamu’alaikum…”
“Wa’aalaikumsalam…”
Hana dan Emak mengantar Dokter Irfan sampai mobilnya hilang di kegelapan malam. Diam-diam Hana terisak. Seribu jarum menghujami ulu hatinya mendengar kepulangan Tantri menghadap Rabb-Nya.
Tangannya masih gemetar ketika membuka surat wasiat dari Tantri. Tulisan rapi Tantri menyembul dari balik lipatan.
Assalamu’alaikum,
Dik Hana yang di cintai Allah,
Ketika surat ini sampai di tanganmu, mungkin Mbak telah pergi jauh. Pergi ke tempat yang indah. Insya Allah. Sepulang dari rumah Dik Hana sekian waktu yang lalu, tak henti-hentinya Mbak merenung. Di ujung renungan panjang itu, mbak merasa sangat malu. Betapa egoisnya Mbak? Betapa tak tahu dirinya? Namun, bagaimanapun Mbak hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, bukan malaikat. Untuk itu Dik Hana, melalui surat ini, Mbak ingin menebus rasa malu Mbak di hadapan Allah, ‘Mbak bermaksud meminangmu untuk mendampingi Mas Irfan. Insya Allah, Mas Irfan laki-laki yang shalih.’ Mbak percaya dengan pernikahan kalian, potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan akan lahir mujahid-mujahid sejati penerus perjuangan. Insya Allah. Mohon dipikirkan dengan hati yang bening pinangan kedua ini ya Dik, maafkan kalau surat ini kurang berkenan di hati adik.
Wassalam,
Tantri
Hana melipat surat perlahan. Emak menggenggam tangannya erat. Wajah teduh Tantri melintas-lintas. Seolah sedang berlarian ditaman-taman yang indah mewangi. Diantara desir angin malam kota Malang yang dingin, Hana merasa tangan-tangan perkasa Allah mengangkat beban di kepalanya.
-ooo-
Muslimah
“Apa Mas Irfan kurang tampan? Kurang gagah?” goda Pak Cipto sembari tersenyum lembut.
Pipi Hana bersemu merah. Sekelebat bayangan Irfan, putra tunggal orang tua asuhnya itu melintas. Dokter muda tampan dengan bergudang prestasi. Keshalihannya tak diragukan lagi. Hana mendesah gelisah. Cepat ditepis bayangan itu seraya beristighfar.
“Bagaimana, Nduk? Hanya kamu yang kami harapkan. Bapak dan Ibu tak pernah ragu memilihmu untuk mendampingi Irfan. Insya Allah, akan lahir mujahid-mujahid sejati dari pernikahan kalian,” suara Bu Cipto yang biasanya lembut dan sejuk itu, kini menjelma halilintar di telinga Hana. Kepalanya mendadak pening.
Mendampingi Irfan? Hana tak pernah ragu sedikitpun dengan keshalihan Irfan. Toh, Hana mengenal Irfan bukan sehari dua hari. Bahkan sudah bertahun-tahun sejak keluarga Cipto mengangkatnya anak asuh. Selisih usia mereka lima tahun. Tapi…bukankah Irfan sudah beristri? Tegakah dia menjadi madu Mbak Tantri? Mbak Tantri yang lembut, baik dan sangat ia hormati sekaligus sayangi.
“Ibu tidak bermaksud merendahkanmu dengan tawaran ini, Nduk. Maafkan Ibu kalau tawaran ini melukai perasaanmu…”
“Ah, em…eh, bukan begitu Bu… hanya…”
“Ibu tahu, menjadi istri kedua bukan keputusan yang main-main. Pikirkanlah tawaran ini masak-masak sebelum mengambil keputusan.”
“Ambillah waktu berapa saja untuk berpikir dan memohon petunjuk Allah. Apapun keputusanmu, kami akan menerima dengan lapang dada. Insya Allah…” Pak Cipto menambahkan. Bu Cipto mengangguk-angguk.
Hana masih terdiam. Gagu. Sepoi angin senja kota Malang yang dingin tak mampu menahan keringat yang mengucur deras membasahi jilbabnya. Dadanya sesak. Ada beban yang tiba-tiba menggumpal memenuhi ruang batinnya.
“Insya Allah, akan saya pikirkan Pak, Bu. Saya mohon pamit dulu, tadi ndak pamit Emak mau pulang sore. Assalamu’alaikum…” ucap Hana seraya meninggalkan ruang samping keluarga Cipto yang asri.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan ya, Nduk…” jawab Pak dan Bu Cipto hampir bersamaan. Kebanggaan akan Hana meluapi wajah pasangan tua itu. Mereka tersenyum sambil menatap punggung Hana yang menghilang di balik pintu depan.
***
Sesampai di rumah, Hana serta merta memeluk Emak yang menyulam di samping jendela. Kebiasaan yang selalu dilakukan Hana ketika hatinya gundah. Tangan Emak mengelus kepalanya lembut. Hana semakin tenggelam dalam kemanjaan. Seperti bocah kecil yang lama tak berjumpa dengan ibunya. Bagi Hana, elusan tangan Emak adalah pengobar semangat yang selalu dirindukannya kala letih.
Hana menatap wajah renta Emaknya dalam-dalam. Kerut di kedua pipinya kian melorot di makan usia. Namun keikhlasan dan ketulusan yang memancar dari matanya tak pernah pudar. Sejak Apak tiada setahun yang lalu, Emak berjualan di pasar. Dua adiknya, Amah dan Didin kadang membantu Emak di sela sekolahnya. Emak tak pernah mengijinkan sekolah mereka terganggu. Untung Amah dan Didin selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Hana sendiri lebih sering berada di rumah keluarga Cipto sejak diangkat anak asuh.
“Ana apa se?” tanya Emak ketika anak gadisnya tak kunjung bicara dan hanya menatap. Hana diam. Perlahan tangan Emak diraih dan di cium lembut. Air mata yang berdesakan disudut matanya meleleh kini.
“Maafkan aku, Mak…”
Emak mengeryitkan dahi. Tak mengerti.
“Ana apa se, Nduk?” ulang Emak sambil meletakkan kain sulamannya.
Hana tergugu dalam tangisnya. Dia merasa sangat berdosa di hadapan wanita tercinta ini. Apa kata Emak nanti saat dia berterus terang tentang tawaran keluarga Cipto. Sedih? Marah? Kecewa? Atau….ah, entahlah. Hana tahu, masih banyak yang harus dia lakukan untuk Emak dan dua adiknya. Mereka sangat membutuhkan Hana. Hana ingin menyelesaikan kuliahnya yang kini menginjak tahun ketiga itu lebih cepat dan bekerja untuk membiayai adik-adiknya. Namun tawaran itu? Keluarga Cipto juga tak mungkin diabaikan begitu saja. Mereka teramat baik untuk di kecewakan.
“Ke…keluarga Cipto, Mak…” ucap Hana terbata. Wajahnya berlinang air mata.
“Oh…itu…” Emak tersenyum. “Emak sudah di ajak bicara sama Bapak Ibumu tentang tawaran itu kok, Nduk. Bahkan Den Irfan sama istrinya juga sudah meminta sama Emak.”
“Hah?! Mbak Tantri? Lantas?” Hana tercekat. Tak menyangka Emak sudah lebih dulu tahu tentang tawaran itu.
“Emak bilang pada mereka, bahwa tawaran ini sepenuhnya kamu yang memutuskan. Emak hanya merestui saja apa yang menjadi keputusanmu. Asal keputusan itu melibatkan Allah.”
“Emak tak marah, kecewa atau sedih?” kejar Hana.
“Nduk…nduk…koen niku ngomong apa se? Apa alasan Emak marah sama kamu? Toh, niat mereka baik.”
“Jadi Emak suka aku jadi istri kedua?” Hana menggigil mengucapkan kata ‘istri kedua’. Jujur saja, Hana merasa belum siap melakukan itu. Menjadi madu buat Mbak Tantri, istri pertama Mas Irfan.
“Bukan masalah suka atau tak suka. Lebih baik memohonlah pada Allah, isthikarahlah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui .”
Hana mengangguk. Di seka air matanya. Perlahan dia beranjak meninggalkan Emak. Kepalanya serasa makin berat.
“Nduk, Emak baru tahu kalau Den Irfan itu gagah dan baik sekali. Seandainya Emak yang di tawari, hm, Emak pasti mau, he he he…” goda Emak sambil tertawa halus. Sambil menuang air putih ke gelas, Hana merengut. Emak ada-ada saja, pikirnya. Tapi dalam hati kecilnya, Hana tak mengingkari kata-kata Emak tentang Irfan. Mendadak Hana tersipu malu.
“Kalau kamu tersipu, berarti benar kan kata Emak tentang Den Irfan?” goda Emak lagi.
“Ih, Emak kok ngono se?” Hana semakin merengut. Dilangkahkah kakinya menuju kamar. Emak tertawa berderai.
***
Gerimis datang sehabis subuh. Udara di sekitar perkebunan apel semakin menggigilkan, membuat orang-orang enggan beranjak dari balik selimut tebalnya. Semalaman Hana tak memejamkan mata. Sudah seminggu sejak tawaran itu, Hana terserang insomnia dadakan. Beban berat bergelayut di kepalanya. Dia sengaja tak ke rumah keluarga Cipto sebelum membawa jawaban.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara seolah bersaing dengan hujan yang menderas. Hana melipat mukena dan sarungnya, menyambar jilbab lalu beranjak membuka pintu. Siapa sepagi ini sudah bertamu? Batinnya bertanya-tanya.
Pintu terbuka dan Hana terpaku melihat siapa yang datang bertamu. Seorang wanita dengan jilbab lebar sedang tersenyum lembut. Wajah teduhnya yang pucat tampak basah oleh hujan.
“Mbak Tantri? Eh, em, Wa…wa’alaikumussalam…” jawab Hana gugup.
“Ehm! Boleh masuk Dik ?” goda Tantri melihat Hana terbengong-bengong.
“Walah…kon niku yak apa se Na, ada tamu kok di biarkan saja…” saut Emak yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Hana tersipu. Entah mengapa, menatap wajah teduh Tantri lidahnya mendadak kelu. Melukai hatinyakah tawaran itu? Hati Hana tambah gelisah. Keluarga Cipto sebenarnya sudah mengatakan kerelaan Tantri untuk di madu, namun tetap saja hati Hana tak enak.
“Kok pagi sekali Ning Tantri? Ada apa?” tanya Emak setelah mempersilakan Tantri duduk.
“Iya Mak, maaf kalau pagi-pagi sudah mengganggu. Takutnya kalau siang, Emak sama Dik Hana pergi. Saya ingin bicara sama Dik Hana.”
Deg! Jantung Hana rasanya berhenti berdetak. Dua tangannya yang sedari tadi meremas-remas ujung jilbab kian gemetar. Hana tak kuasa menatap senyum Tantri yang terus mengembang. Dia tak ingin menjadi madu yang akan melukakan hati bening di hadapannya.
“Oh, monggo Ning, monggo. Oh ya, Ning Tantri mau Emak bikinkan teh hangat?”
“Tak usah repot Mak, temani Hana disini saja. Saya juga butuh kehadiran Emak dalam pembicaraan ini,” ujar Tantri seraya meraih tangan Emak untuk kembali duduk.
“Dik Hana, Emak, kedatangan saya kesini…” Tantri memulai pembicaraan. Senyumnya masih mengembang. Namun wajahnya kian memucat. Mata itu menjadi redup, seperti lampu kehabisan minyak. Ada bongkahan kaca yang siap meleleh di sudut-sudutnya. Inikah luka? Hana menggigit bibirnya.
“Saya memang menyetujui Mas Irfan menikah lagi. Tapi entah mengapa, tiba-tiba saya gundah luar biasa ketika Bapak dan Ibu benar-benar menawarkan rencana ini pada Dik Hana. Saya….”
Bongkahan kaca di mata Tantri meleleh kini. Menciptakan alur-alur sungai kecil yang kian menderas. Hana memejamkan mata. Ada perih menyelinapi relung hatinya. Ketakutannya menjelma nyata. Tawaran itu melukai Tantri.
“Maafkan saya Dik Hana. Sebenarnya saya malu dengan diri saya sendiri . Saya ini mandul, bahkan sebentar lagi rahim saya diangkat karena kanker, tapi masih saja egois. Saya belum bisa ikhlas merelakan satu sisi hati Mas Irfan diisi oleh yang lain. Padahal seharusnya, dengan keadaan saya ini, saya bisa memberikan yang terbaik untuk Islam meski hanya dengan merelakan di madu. Agar potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan keturunannya tak terputus. Tapi kenyataannya? Huuu…huuuu…” suara Tantri diantara tangisnya. Hana masih diam. “Namun selebihnya keputusan ditangan Adik, untuk menerima atau menolak. Saya akan mencoba mengatasi perasaan saya… “
“Tapi Mbak, Hana tak akan melukai hati Mbak dengan memiliki Mas Irfan. Dan Hana tak akan menerima tawaran itu tanpa keikhlasan Mbak Tantri, ” potong Hana setelah mengumpulkan sekian banyak keberanian untuk bicara.
“Maafkan saya, Dik. Tolong jangan bilang ke Mas Irfan tentang keresahan saya ini. Saya malu. Biarkan saya berusaha mengatasi perasaan saya perlahan-lahan. Insya Allah bisa.”
Hana terpekur. Tangis Tantri sedikit reda. Hanya sedu sedannya yang masih terdengar. Emak mengambilkan teh hangat. Beberapa saat ketiganya tenggelam dalam dialog hatinya masing-masing. Hujan menjelang reda ketika Tantri berpamitan. Meninggalkan nyeri dalam dada Emak dan Hana. Beban di kepala Hana terasa kian berat.
***
Minggu demi minggu berlalu. Hana belum juga memberikan tanggapan atas tawaran keluarga Cipto. Hatinya kian gundah. Sejak kedatangan Tantri di rumahnya pagi itu, Hana belum pernah sekalipun bertandang ke rumah keluarga Cipto. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan kesana. Sebenarnya, tak kurang-kurangnya Hana minta masukan tentang masalah ini pada orang-orang terdekatnya. Beberapa kali dia berdiskusi dengan teman-teman kampusnya, teman-teman pengajian juga gurunya pengajiannya. Namun sampai detik ini belum juga ia menemukan jawaban yang tepat. Istikharahnya juga belum membuatnya mantab. Untuk menerima atau menolak. Seperti menelan biji simalakama. Ditelan Tantri mati, tak ditelan Bapak-Ibu asuhnya yang mati.
“Belum tidur, Nduk?”
Hana tergeragap. Emak menyentuh pundaknya lembut. Hana hanya menjawab dengan gelengan. Diliriknya jam dinding. 12.30 malam. Hm, berarti sudah tiga jam paper yang dikerjakannya tak juga selesai. Konsentrasinya benar-benar terpecah. Nilai kuisnya saja kemarin jeblok. Duh!
“Jangan terlalu dipikirkan, lihat badanmu jadi kurus. Ikut kata hatimu saja. Insya Allah keluarga Cipto akan menerima apapun keputusanmu. Daripada malah seperti menghindar begini,” kata Emak sambil duduk di hadapan Hana. Kedua adiknya sudah terlelap.
Hana mencoba untuk tersenyum tapi yang terbentuk justru bukan senyuman. Bulir-bulir airmata berdesakan disudut matanya. Menangis. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini? Pikir Hana kesal pada dirinya sendiri. Sejak tawaran itu dilontarkan padanya, Hana jadi sering menangis. Dulu ketika harus membantu Emak berjualan di pasar, tidak makan dua hari karena tak ada yang di makan, Hana tak pernah mengeluh apalagi menangis. Tapi masalah ini, benar-benar terasa membebaninya.
“Allah tak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan kita, Nduk. Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat…”
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan menghentikan kata-kata Emak. Mereka berpaling kearah pintu. Hana kembali melirik jam dinding. Siapa jam segini bertamu? Malingkah? Mereka terdiam beberapa saat. Ketakutan.
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara kini mengiringi ketukan. Hana mengeryit. Sepertinya dia familiar dengan suara itu. Emak juga memberikan isyarat pada Hana demikian. Setelah mengumpulkan keberanian, mereka beranjak membukakan pintu.
Seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Kegelisahan tergambar jelas di matanya. Dokter Irfan. Ada apa malam-malam begini datang bertamu? Jantung Hana berloncatan kesana-kemari.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawab Emak dan Hana bersamaan setelah sesaat terbengong-bengong dengan tamunya.
“Silakan masuk, Dokter. Ada apa kok tumben malam-malam?” Emak mempersilakan tamunya masuk. Hana mengikuti di belakang Emak.
“Maaf Emak dan Dik Hana, malam-malam bertamu. Ada kabar yang ingin saya sampaikan. Tentang Dik Tantri…”
Deg! Jantung Hana semakin keras berlompatan. Ada apa dengan Mbak Tantri?
“Kenapa Ning Tantri, Den ?”
“Sebenarnya sudah seminggu ini Dik Tantri opname di rumah sakit…”
“Opname? Kenapa Mbak Tantri Mas?” potong Hana tak sabar. Kekhawatiran membayang di wajahnya.
“Karena sakit Dik Tantri semakin hari semakin parah, tadi siang operasi pengangkatan rahim di jalankan. Tapi… operasi itu kurang berjalan mulus. Menjelang maghrib Dik Tantri menghadap Rabb-Nya.“ suara Dokter Irfan basah.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun…” Hana memegang tangan Emak erat. Seluruh kepiluan serasa mengaliri darahnya.
“Selain mengabarkan hal tersebut, saya menyampaikan surat wasiat yang ditulis Dik Tantri buat Dik Hana. Maaf, saya mohon pamit dulu. Ada beberapa keluarga yang mesti dikabari. Assalamu’alaikum…”
“Wa’aalaikumsalam…”
Hana dan Emak mengantar Dokter Irfan sampai mobilnya hilang di kegelapan malam. Diam-diam Hana terisak. Seribu jarum menghujami ulu hatinya mendengar kepulangan Tantri menghadap Rabb-Nya.
Tangannya masih gemetar ketika membuka surat wasiat dari Tantri. Tulisan rapi Tantri menyembul dari balik lipatan.
Assalamu’alaikum,
Dik Hana yang di cintai Allah,
Ketika surat ini sampai di tanganmu, mungkin Mbak telah pergi jauh. Pergi ke tempat yang indah. Insya Allah. Sepulang dari rumah Dik Hana sekian waktu yang lalu, tak henti-hentinya Mbak merenung. Di ujung renungan panjang itu, mbak merasa sangat malu. Betapa egoisnya Mbak? Betapa tak tahu dirinya? Namun, bagaimanapun Mbak hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, bukan malaikat. Untuk itu Dik Hana, melalui surat ini, Mbak ingin menebus rasa malu Mbak di hadapan Allah, ‘Mbak bermaksud meminangmu untuk mendampingi Mas Irfan. Insya Allah, Mas Irfan laki-laki yang shalih.’ Mbak percaya dengan pernikahan kalian, potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan akan lahir mujahid-mujahid sejati penerus perjuangan. Insya Allah. Mohon dipikirkan dengan hati yang bening pinangan kedua ini ya Dik, maafkan kalau surat ini kurang berkenan di hati adik.
Wassalam,
Tantri
Hana melipat surat perlahan. Emak menggenggam tangannya erat. Wajah teduh Tantri melintas-lintas. Seolah sedang berlarian ditaman-taman yang indah mewangi. Diantara desir angin malam kota Malang yang dingin, Hana merasa tangan-tangan perkasa Allah mengangkat beban di kepalanya.
-ooo-
Muslimah
0 komentar:
Posting Komentar