_*_Serial Kisah Penggugah Jiwa_*_ Masuk Islamnya Seorang Pemudi Rusia Penganut Kristen Ortodoks {Episode:3}
Diposting oleh Yusuf shadiq–** Episode Tiga **–
Kunjungan Pedih
Setelah urusan paspor kami selesaikan, kami langsung berangkat untuk mengunjungi keluarganya. Tak lama, kami sampai di rumahnya. Lalu kami mengetuk pintu rumahnya; sebuah rumah sederhana yang sudah tua. Dilihat dari bentuknya, cukuplah menandakan penghuninya termasuk golongan menengah ke bawah. Pintu pun dibuka oleh kakak laki-lakinya, yang nampak berotot kuat. Istriku begitu gembira bertemu dengannya, lalu ia membuka penutup wajahnya, seraya menyunggingkan senyumnya!Namun kakaknya, sejak pertama kali melihat istriku, terlihat jelas pada mukanya rona bergantian; antara gembira atas kepulangan adiknya, juga perasaan aneh karena melihat pakaian serba hitamnya yang menutupi seluruh tubuhnya. Masuklah istriku sambil tersenyum, dan merangkul kakaknya. Aku pun turut masuk di belakangnya, kemudian duduk sendirian di ruang depan rumah itu.
Istriku masuk ke ruang tengah. Kudengar mereka bercakap-cakap dengan bahasa Rusia, yang tetap tak kumengerti. Namun, kuperhatikan tekanan suaranya mulai terdengar mengencang!! Nadanya pun berubah!! Terdengar teriakan!! Semuanya meneriaki istriku!! Sedang istriku membela diri, dan menjawab teriakan mereka. Aku merasa keadaannya kian memburuk! Namun, aku tak bisa bertindak apapun, karena tak bisa mengikuti percakapan mereka sama sekali…
Tiba-tiba, terdengar beberapa suara mendekat ke ruangan tempat aku duduk. Ternyata tiga orang pemuda kekar menghampiriku, yang dipimpin oleh seorang lelaki yang telah berumur. Awalnya, aku menduga mereka bermaksud menyambutku sebagai suami dari anak wanita mereka! Ternyata, mereka langsung menyerangku bagaikan binatang buas!! Ya, sambutan mereka adalah kepalan tangan, bogem mentah, dan terjangan yang membabi buta!! Aku pun berusaha membela diri. Aku berteriak meminta tolong. Hingga, kekuatanku semakin melemah, dan aku merasa hidupku akan berakhir di rumah ini. Pukulan dan terjangan mereka semakin menjadi-jadi. Sontak aku memutar pandangan ke sekelilingku, mencari-cari celah untuk lari. Ketika kulihat pintu, segera aku menujunya, membukanya, dan lari. Mereka berusaha mengejar di belakangku. Aku pun masuk ke dalam keramaian manusia, hingga selamat dari kejaran mereka. Segeralah aku menuju ke kamarku yang tak begitu jauh dari rumah keluarga istriku itu.
Aku mencuci darah di wajah dan mulutku. Kudapati dalam diriku bekas pukulan dan terjangan pada kening, pipi, dan hidungku, sedangkan darah mengalir dari mulutku. Begitu pula pakaianku koyak. Aku bersyukur kepada Allah, yang masih menyelamatkanku dari terkaman binatang-binatang itu. Namun, bagaimana dengan istriku?! Mulailah bayangan istriku melambai-lambai di depan mataku. Apakah ia pun menghadapi penyiksaan seperti ini? Aku laki-laki, tapi hampir saja tak bisa menahan serangan mereka. Istriku seorang wanita, bagaimana ia bisa melawan mereka?!! Aku khawatir ia telah roboh….
Inikah Saatnya Berpisah…?
Mulailah syaitan melaksanakan tugasnya; mereka membisiki pikiranku; “istriku akan murtad dari agama Islam, ia akan kembali menjadi Nashrani. Dan kamu akan pulang ke negerimu sendirian.” Aku terdiam gelisah.. Apa yang harus kulakukan di negeri ini? Kemana aku harus pergi? Bagaimana tindakanku selanjutnya? “Jiwa begitu murah di negeri ini. Anda bisa menyewa seseorang untuk membunuh orang lain dengan bayaran hanya 10 dollar!” Uhh…, “bagaimana jika mereka menyiksa istriku, hingga ia tega menunjukkan tempatku ini? Mereka tinggal mengutus seseorang untuk membunuhku di kegelapan malam.” Segeralah kukunci kamarku, dan tinggallah diriku di dalamnya dengan resah dan penuh rasa takut.
Paginya, aku segera mengganti baju dan pergi untuk mencari kabar istriku. Kuamati rumahnya dari kejauhan. Tiba-tiba, rumahnya terbuka, dan tiga orang pemuda keluar dari sana, juga seorang lelaki yang telah berumur itu. Ya, merekalah yang memukuliku tempo hari!
Melihat penampilannya, tampaknya mereka hendak pergi ke tempat kerja mereka. Lalu mereka menutup pintu dan menguncinya! Aku masih mengamati, mengintai, dan mengawasi rumah itu. Aku berharap dapat melihat wajah istriku. Namun tak ada hasilnya. Aku pun terus menerus dalam keadaan ini sekian lama, hingga para lelaki itu kembali dari tempat kerja mereka dan memasuki rumahnya.
Aku merasa kecapekan, kemudian pulang ke kamarku. Di hari kedua, aku pergi lagi mengawasi rumah itu, namun masih tak bisa melihat istriku. Begitu pula di hari ketiga, hingga aku putus harapan membayangkan keadaan istriku. Terpikirlah dalam diriku, bahwa ia telah meninggal karena dahsyatnya siksaan, atau memang sengaja dibunuh! Namun, jika ia mati setidaknya harus terlihat tanda-tandanya di rumah itu; akan datang orang-orang yang berbela sungkawa, atau yang melayatnya. Namun, tak kulihat sesuatu yang aneh di sana. Maka kuyakinkan diriku bahwa ia masih hidup, dan pertemuan akan segera terjadi….
Perjumpaan
Di hari keempat, aku tak sabar untuk berdiam diri di kamar. Maka aku pun berangkat lagi mengawasi rumah itu dari kejauhan. Ketika para lelaki itu berangkat bersama ayah mereka ke tempat kerjanya, seperti biasanya, aku tetap menanti penuh harap. Tiba-tiba pintu terbuka, dan wajah istriku menyembul di belakangnya. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Dan aku melihat wajahnya penuh tetesan darah dan membiru bekas pukulan, yang nampaknya dilakukan bertubi-tubi. Begitu pula pakaiannya dilumuri darah. Aku begitu ngeri melihatnya, serta merasakan iba kepadanya. Segera aku mendekat, dan melihatnya lekat-lekat. Darah mengucur dari sekujur badannya; di mukanya, di kedua tangannya, juga di kedua kakinya…. Bajunya terkoyak, ia hanya tertutupi sesobek kain yang seret. Dan, kulihat kedua kakinya terikat dengan rantai. Juga kedua tangannya dirantai di belakang punggungnya. Melihat keadaan itu, aku menangis. Aku benar-benar tak mampu mengendalikan diri. Kupanggil istriku dari kejauhan….
Nasihat Peneguh Jiwa
Istriku berkata kepadaku, seraya menahan derai air mata, dan mengerang karena dahsyatnya rasa sakit: “Dengarlah wahai Khalid… Jangan kau cemaskan diriku. Aku akan teguh di atas janjiku. Demi Allah, apa yang kuhadapi saat ini, tidaklah sebanding seujung rambut pun, dengan siksaan-siksaan yang dialami para sahabat dan tabiin, apalagi para nabi dan rasul. Kuharapkan engkau tidak terlibat dalam urusanku dengan keluargaku. Cepatlah pergi sekarang juga, tunggulah aku di kamar kontrakan, sampai aku menemuimu, insya Allah. Namun begitu, perbanyaklah do’a, perbanyaklah qiyamullail, dan perbanyaklah shalat…!”
Aku pun pergi darinya, dengan segunduk rasa sakit dan penyesalan di hati. Aku berdiam diri di kamar sepanjang hari, sambil menantikan kedatangannya. Begitu pula di hari selanjutnya. Dan, di hari ketiga dalam penantian itu, ketika malam telah begitu larut, terdengar pintu kamarku diketuk! Aku terkejut. Siapakah yang ada di balik pintu? Siapa yang mengetuk? Sungguh aku jadi merasakan ketakutan yang luar biasa; Siapakah yang datang ke rumahku, di tengah malam begini?! Jangan-jangan, keluarga istriku mengetahui tempatku. Jangan-jangan istriku menyerah dan menunjukkan tempat ini kepada mereka. Lalu mereka pun datang untuk membunuhku. Rasa takutku semakin menjadi-jadi membayangkan kematian. Tidak lagi tersisa antaraku dan antara maut, kecuali seujung rambut. Kuberanikan diri untuk bicara; “Siapakah di luar sana?”
Ternyata, suara istriku yang menjawabku dengan sangat lirih: “Bukakan pintu. Aku Fulanah.” Maka, segeralah kunyalakan lampu kamar, dan kubuka pintunya. Istriku masuk sambil gemetaran, kondisi badannya begitu lemah, serta dipenuhi luka di sekujur tubuhnya.
Istriku berkata: “Mari kita segera pergi dari sini!”
“Dalam kondisimu seperti ini?” tanyaku.
“Ya, cepatlah.!” jawabnya.
Mulailah ia membereskan pakaiannya, lalu mengambil tas, dan mengganti pakaiannya. Ia mengenakan hijabnya juga mantel sebagai pengaman. Kemudian kami bawa semua barang kami. Kami pun pergi, dan naik ke mobil angkutan. Istriku yang malang itu menjatuhkan tubuhnya yang lusuh, lapar, dan kesakitan itu di atas kursi mobil….
Insya Allah Bersambung…
–**–**–**–**–**–**–**–**–**
Sumber: Kutaib “Innaha Malikah” Penulis: Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-’Arifi. Penerjemah: Abu Haitsam Buldan
0 komentar:
Posting Komentar