Nabi Zakaria telah bertahun-tahun berumah ta-ngga namun belum juga memperoleh anak. Beliau merindukan kedatangan anak sebagai penerus perjua-ngan da’wahnya dalam me-ngemban misi risalah ajaran tauhid dan akhlak mulia yang berpedoman pada kitab Taurat. Tanda–tanda untuk memperoleh keturunan secara biologis adalah mustahil terjadi. Ini disebabkan karena selain beliau sendiri sudah tua renta, istrinya pun sudah dinyatakan mandul.
TIDAK ADA YANG MUSTAHIL
Namun Nabi Zakaria memiliki keyakinan yang kuat bahwa kelak, permohonannya untuk mendapatkan keturunan yang diharapkan, akan terkabul. Kekuasaan Allah berpihak pa-danya, berbeda dengan pandangan umum manusia yang melihatnya. Di usianya yang senja itu, istri beliau yang mandul ternyata hamil dan dapat melahirkan putera yang kemudian diberi nama Yahya (lilhat QS: Maryam-19:1-15).
Ada delapan sifat Yahya yang disebutkan dalam Tafsir al-Jalalin, antara lain: (1) Berpegang teguh kepada kitab Taurat. Dan ini sebagai pesan ayahnya, Nabi Zakaria: “Wahai Yahya, berpeganglah kamu pada kitab Taurat dengan sungguh-sungguh” (QS: Maryam-19:13), (2) Mendapatkan hikmah (berilmu yang luas, dan diangkat menjadi Nabi di usia balita), (3) memiliki rasa kasih sayang (4) berjiwa suci, (5) bertaqwa, (6) berbakti kepada orang tua, (7) jauh dari sifat sombong, dan (8) tidak pernah maksiat. Karena memiliki sifat-sifat mulia ini, Allah menjaminnya hidup selamat pada saat ia dilahirkan, diwafatkan, dan pada saat hari dibangkitkan kembali (QS. Maryam-19-15).
Sementara itu di lain kisah, ada seorang wanita suci bernama Maryam binti Imran. Selama. Selama hidupnya, ia amat dekat dengan Allah.karena ia mendapat rezeky diluar kebiasaan manusia pada umumnya. “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan untuknya jalan keluar. Dan memberikan rezeky dari tempat yang tidak disangka-sangkanya..” (QS: al-Thalaq-65:3-4). Di mihrabnya (suatu tempat khusus untuk beribadah), ia tidak hanya mendapat makanan secara cuma-cuma ia pun mendapat putera tanpa bersuamikan siapa pun.
Nabi Zakaria yang mengasuhnya sejak kecil, mengetahui persis sifat Maryam yang terjaga dari rayuan iblis. Ia benar-benar seorang wanita yang mulia dan terjaga dari berbagai sifat b-uruk. Namun ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Isa, fitnah datang bertubi-tubi. Ia dituduh wanita bertopeng ahli ibadah yang berprofesi sebagai pelacur. Maryam pun tidak banyak komentar dan diam seribu bahasa. Ia hanya memberi isyarat kepada bayi mungil bernama Isa untuk menjadi saksi bahwa dirinya masih tetap suci, tidak seperti yang dituduhkan kaumnya itu (QS: Maryam-19:16-33)
Sebagaimana Nabi Yahya, Isa pu menurut teks al-Qur’an, diangkat sebagai Nabi sejak masa buaian. Nabi Isa yang masih bayi itu berbicara dihadapan orang banyak, membuktikan bahwa ibunya adalah wanita suci. Ucapan beliau diabadikan pada ayat 30-33, yakni (1) ia sebagai hamba Allah, (2) diberi kitab (injil), (3) dijadikan sebagai Nabi, (4) hidup dalam keberkahan, (5) diberi wasiat untuk me-negakkan shalat, (6) berzak-at, (7) berbakti kepada ibu kandungnya, (8) bukan seb-agai hamba yang sombong, dan tidak melakukan maksiat. Bakan beliau pun berucap lagi bahwa Allah menyelamat-kan dirinya sejak dilahirkan, sampai wafat dan hari kebangkitan kelak.
Kisah ini memperlihatkan bahwa dua orang Nabi bernama Yahya dan Isa, Allah selamatkan dalam perjalanan hidupnya, baik pada saat mereka dilahirkan, diwafatkan maupun saat ha-ri dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan semua per-buatannya didunia yang fana. Mengapa mereka selamat? Inilah yang mesti menjadi kunci jawaban dalam tulisan ini untuj dijadikan pelajaran (ibrah) kepada kita semua.
EMPAT STASIUN KEHIDUPAN
I. Stasiun hari kelahiran
Stasiun ini merupakan goresan awal sejarah hidup kita. Pada saat itu, kita berada pada masa fitrah (masa kesu-cian atau masa membawa potensi dasar untuk siap menerima atau diisi pada hal-hal yang baik atau buruk). “Maka Dia mengilhami setiap diri sifat jujur dan taqwa. “(QS: asy-Syams 91:8). Begitu juga hadits Nabi yang menyatakan bahwa, “Tidaklah dari seseorang yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya atau lingkungannya yang menyebabkan ia menjadi yahudi, Majusi atau Nasrani.”
Pada saat itu pula setiap kita benar-benar tidak ada yang mampu mengingat dan merasakan kejadian bersejarah kalau kita ditakdirkan menjadi manusia yang haus hidup di dunia ini. Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu (Dan ketika itu) kamu tidak mengetahui apa-apa. Dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati. Semoga kamu menjadi hamba yang bersyukur. “(QS: al-Nahl-16-78)
Yang jelas, dengan menciptakanya kita seorang bayi, kita mulai bersiap-siap mengemban amanah hidup, sebagai khalifah di bumi dan sebagai hamba yang mesti menjalani hidup dengan ke-tentuan syari’ah Allah (baca surah al-Baqarah-2:30 dan al-dzariat-51-56). Ini merupakan beban berat, meskipun mulia bila menjalaninya dengan baik dan sungguh-sungguh. apakah kitas lulus menerima amanat atau tidak? “sesungguhnya telah kami bebankan amanah ini kepada langit dan bumi, serta gunung. Maka mereka menolak untuk menanggungnya. Sem-entara manusia sanggup meneriman-ya. Sesungguhnya manusia itu zalim dan jahil” (QS. Al-Ahzab- 33:72).
Dalam menjalani hidup ini hingga wafat, setiap kita mengukir sejarah dengan kumpulan suka dengan duka. “Dan bahwasanya Dia yang menciptakan tawa dan tangis, dan bahwasanya Dia yang menciptakan mati dan hidup.” (QS. Al-Najm-53:43-44). Di awal hidup, kita menangis, sementara orang tua dan kerabat dekat menyambut dengan tawa karena kedatangan bayi mungil penerus generasi. Masahnya apakah setelah wafat nanti, kita akan menangis, berduka (su’ul khatimah) ataukah bersuka (khusnul khatimah). Inilah yang menjadi jawaban, apakah kita mampu dan lulus menjalankan amanah?.
2. Stasiun baligh
Inilah stasiun pra kondisi menjadi manusia bermanfaat dan bermatabat setelah ia dilahirkan. Kedua orang tua mesti berhati-hati dan penuh perhatian kepada setiap anaknya yang suatu saat, ia mesti bertanggung jawab pada setiap gerak langkah hidupnya. Kapan waktunya? Yakni ketika ia menginjak usia baligh. Imam syafi’I begitu perhati-an atas nasib putera-puterinya. Ia didik semua anaknya dengan didikan islami, teru-tama semenjak lahir hingga baligh.
Suatu ketika, sesudah Syafi’i shalat tahujud, ia perhatikan anak laki-lakinya yang menjelang usia baligh di waktu tidurnya. Ia periksa pakaian dalam puteranya. Apakah sudah bermimpi ba-sah atau belum? Sesudah kedapatan bahwa puteranya itu telah mimpi basah, itu pertanda awal baligh telah tiba. Keesokan harinya ia undang tetangga dekatnya untuk menyaksikan syahad-at ulang kepada puteranya yang baru baligh itu. Ia wasiatkan kepada puteranya untuk menjadi manusia pe-negak syari’ah dengan bermodalkan ilmu dan dekatnya kepada Allah. Sungguh begitu perhatiannya seorang Syafi’I terhadap pendidikan anak-anaknya. Sudahkah kita mencontoh-nya?
Idealnya setiap kita yang sudah baligh diperintahkan mengerjakan kewajiban, seperti shalat lima waktu didirikan dengan benar, yakni diawal waktu, berjamaah di mesjid, dan dengan mengikuti tata aturan shalat yang di contohkan Nabi. Tidak hanya itu, perintah yang sunnah juga harus mulai dibiasakan.
3. Stasiun Reproduksi (Pernikahan)
Stasiun ini sungguh monumental. Pada titik ini setiap kita membuka sejarah baru. Tidak hanya untuk m-engukir sejarah pribadi, tetapi juga untuk pasangan hidup (suami atau istri) dan generasi dari hasil pernikahan.
Nabi Zakaria adalah contoh manusia sukses menata diri dan generasi penerus sejarahnya dengan lahirnya seorang hamba Allah yang bernama Yahya, yang juga seorang Nabi dengan sifat-sifatnya yang sudah disebutkan. Begitu juga seorang wanita bernama Maryam binti Imran. Dengan kesuci-annya, meski tanpa melalui proses pernikahan, ia melahirkan seorang Nabi, berna-ma Isa, yang juga membuka sejarah monumental kehi-dupan umat manusia. Allah selamatkan dan membawa keselamatan keduannya (Nabi Yahya dan Isa). Ini terjadi karena dalam manejemen Allah, keduanya lahir dari keluarga bertauhid dan me-njadi contoh teladan terbaik. Pelajaran ini sudah te-ntu terdapat pula dengan keluarga para Nabi yang lain, seperti keluarga Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw.
Untuk mengambil pelajaran dari kisah ini adalah perbuatan yang sangat bijak bila sebel-um melangkah ke stasiun pernikahan, kita sudah mempersiapkan diri pada hal-hal berikut:
Pertama, menjadi seorang pencinta ilmu. Kita mesti bersiap diri untuk menjalani hidup ini dengan berbekal ilmu, termasuk bekal ilmu bagaiman menjadi seorang suami atau istri, ayah atau ibu yang baik. Diantaranya memiliki jiwa pelayan. Suami yang menjadi pelayan istri, ayah atau ibu yang menjadi pelayan anak. Sebaliknya, is-tri akan menjadi pelayan suami. Anak akan menjadi pelayan ayah dan ibunya. Dengan cara ini, saling perhatian dan cinta kasih akan tumbuh di dalam kelurga. Inilah yang dinyatakan Nabi: “Keluargaku adalah surge bagiku”. Sebuah contoh keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Kedua, kita mesti berbekal dengan im-an, upaya mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Dari sini akan muncul sebagai hamba yang selalu bersyukur atas segala karunia Allah dan bersabar terhadap apapun yang menimpanya. Semua takdir yang terjadi adalah yang terbaik untuk kita jalani. Insya Allah dari sini akan muncul perilaku yang berakhlak kepada Allah, ke-pada Rasul-Nya, kepada orang terdekat, t-erutama ayah-ibu dan kepada semua hamba ciptaan-Nya.
4. Stasiun Kematian
Ini adalah stasiun terakhir, apakah kita tergolong manusia yang sukses atau gagal dalam menjalani hidup. Dalam Al-Qur’an di sebutkan bahwa bagi mereka yang sukses yakni yang begitu sipanya dalam menghad-api kematian. Bahkan seakan-akan ia tengah menunggunya. “barang siapa mengharap per-umpaan dengan Allah, maka sesungguhnya ajal (kematian) itu pasti datang . dan Dialah Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: al-Ankabut 29: 5).
Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Terba-gi perasaan takut dan harap (ketika sakratul maut dating). Keduanya takkan berkumpul pada seseorang di dunia, sehingga ia mencium bau neraka. Dan takkan berpisah keduanya pa-da seseorang di dunia, sehingga ia mencium bau surga” (HR. al-Tabrani dan sahabat Wailah bin Asqa’. Juga diriwatkan dari Ashabu al-Sunan kecuali Abu dawud dari sahabat Anas).
Karena itu, “Rancanglah kapalmu karena sungguh samudera itu luas nan dalam. Perban-yaklah bekal , karena sungguh perjalananmu sungguh jauh dan melelahkan. Ikhlas setiap amal, karena sungguh Sang pengamat (Allah) selalu mengintai,” (HR. Imam Hakim).
0 komentar:
Posting Komentar