INDAHNYA ISLAM

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).


Selasa, 01 Mei 2012


*-* Episode Dua *-*
Di Rusia
Khalid bercerita: “Ketika kami turun di bandara, aku menyangka kami akan pergi ke rumah keluarganya, dan tinggal bersama mereka. Kemudian setelah selesai urusan, barulah kami pulang kampung. Namun, pemikiran istriku ternyata jauh dari dugaan. Ia malah berkata: ‘Keluargaku adalah kaum Ortodoks yang fanatik terhadap agamanya. Aku tak akan pergi untuk menemui mereka sekarang! Untuk sementara kita menyewa kamar sebagai tempat tinggal, lalu kita menyelesaikan pengurusan paspor. Menjelang pulang, baru kita mengunjungi keluargaku.’
Kurasa pikirannya benar juga; maka kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di sana. Besoknya, kami pergi ke kantor imigrasi. Kami menemui seorang pegawai. Dan pegawai itu meminta paspor lama disertai photo istriku. Istriku lalu mengeluarkan photo hitam putih, yang hanya menampakkan wilayah muka saja.
Pegawai itu berkata: “Photo ini berbeda dengan photo yang ada di paspor lama. Kami minta photo berwarna, yang menampakkan wajah, rambut, dan leher Anda!!…
Istriku menolak untuk memberikan photo selain photo tersebut. Kami pun mencoba menemui pegawai yang lainnya, lalu pegawai yang lainnya lagi. Namun mereka semua tetap meminta photo yang terbuka. Istriku pun berkata: “Aku tak akan memberikan photo yang menampakkan auratku, sampai kapan pun!” Para pegawai pun tak ada yang memproses permohonannya. Maka kami mencoba menghadap kepada kepala kantornya.
Istriku berupaya menjelaskan kepadanya, agar menerima photo yang ia bawa. Namun kepala kantornya pun menolak. Istriku terus menerus mendesaknya seraya berkata: “Tidakkah kamu memperhatikan photoku ini, lalu bandingkan dengan photo yang ada di paspor. Yang penting wajahku kelihatan. Sebab rambutku boleh jadi telah berubah. Photo ini telah mencukupi!”
Sang kepala kantor tetap bersikukuh bahwa peraturan tak mungkin menerima photonya. Istriku berkata: “Aku tak akan memberikan photo selain photo ini. Lalu bagaimana penyelesaiannya?”
Kepala Kantor itu menjawab: “Permasalahan ini tak akan bisa diselesaikan, kecuali melalui kepala imigrasi tertinggi di Moskow.”
Kemudian, kami pun segera keluar dari kantor itu. Istriku menoleh kepadaku dan berkata: “Wahai Khalid, kita mesti pergi ke Moskow.”
Aku mengatakan kepadanya: “Berikanlah photo seperti yang mereka inginkan. Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya. Bertaqwalah kepada Allah semampunya. Ini kondisi darurat. Dan paspor itu hanya dilihat oleh beberapa orang saja. Selanjutnya engkau bisa menyembunyikannya di rumah, sampai habis masa berlakunya. Selesailah urusan, dan kita tak perlu lagi pergi ke Moskow.”
Istriku menjawab: “Tidak, tak mungkin aku memberikan photo yang memperlihatkan aurat, setelah aku mengenal agama Allah!”
Di Moskow
Istriku terus mendesakku. Maka berangkatlah kami ke Moskow, kemudian menyewa sebuah kamar untuk beristirahat. Besoknya, kami pergi ke kantor imigrasi. Kami menemui seorang pegawai, kemudian beralih ke pegawai yang lain, dan beralih lagi ke pegawai yang lainnya, hingga kami pun diharuskan menghadap langsung kepada kepala kantor yang asli. Kami menemuinya, dan sungguh ia adalah manusia yang paling buruk sikapnya! Ketika ia melihat paspor istriku, ia membolak-baliknya, kemudian mengangkat kepalanya untuk memandang istriku, lalu ia berkata:
“Bagaimana aku bisa yakin, bahwa Anda adalah pemilik paspor ini?” Ia berkata demikian, dengan maksud agar istriku membuka penutup wajahnya, hingga bisa dilihatnya.
Istriku berkata: “Suruhlah salah seorang pegawai Anda yang wanita, untuk aku bukakan wajahku di depan mereka, sehingga mereka dapat mencocokkannya dengan wajah yang ada di photo itu. Adapun Anda, selamanya tak bisa mencocokkan photo ini, dan selamanya aku tak akan membukakan wajahku kepada Anda.”
Sontak kepala kantor imigrasi itu marah, lalu ia mengambil parpor lama istriku, beserta photo dan berkas-berkas lainnya, kemudian ia gabungkan dan ia masukkan ke dalam laci khusus. Kemudian ia pun berkata kepada istriku: “Anda tak memegang paspor lama; dan Anda tidak dapat memperoleh paspor yang baru, kecuali setelah Anda membawa photo sesuai prosedur, yang akan kami cocokkan dengan wajah Anda sendiri.”
Istriku masih berbicara dengannya, ia bersikeras memohon perpanjangan paspornya. Mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Rusia. Sedangkan aku hanya melihat mereka, tak mengerti sedikit pun. Aku marah, namun tak bisa berkata apa-apa.
Jawaban sang kepala imigrasi itu ternyata tetap: “Anda harus membawa photo yang sesuai syarat kami.”
Istriku terus mendesaknya, namun tak ada faedahnya. Ia pun terdiam dan tetap berdiri mematung di depannya. Kepala Imigrasi itu memandangnya sinis. Maka, kukatakan kembali kepada istriku: “Istriku yang tercinta! Allah tidaklah membebani seseorang, kecuali sebatas kemampuannya. Sekarang kita dalam kondisi terpaksa. Sampai kapankah kita akan berkelana di kantor-kantor imigrasi?”
Istriku menjawab: “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Dia akan memberinya jalan keluar, serta memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.”
Adu argumen di antara kami semakin seru saja. Hingga kepala imigrasi itu marah dan menyuruh kami keluar dari kantornya. Kami pun keluar dari sana. Sungguh, saat itu aku berada di antara rasa sayang bercampur rasa kesal terhadapnya.
Kami pulang ke kamar sewaan kami, dan membicarakan kembali permasalahan itu di kamar. Aku berusaha meluluhkannya, namun ia pun bersikukuh dengan prinsipnya. Hingga, malam semakin larut. Kami pun shalat Isya, dan pikiranku sungguh masygul dengan musibah ini. Kemudian kami mencicipi sedikit makanan, lalu kurebahkan kepalaku untuk tidur.
Bagaimana Kau Bisa Tidur…?
Ketika ia melihatku hendak tidur, berubahlah rona wajahnya. Kemudian ia berkata kepadaku:
“Wahai Khalid, engkau mau tidur?!”
Aku menjawab: “Ya, tidakkah engkau merasa capek?!”
Istriku menjawab: “Subhanallah… dalam kondisi kritis ini, engkau mau tidur? Saat ini kita berada dalam keadaan butuh akan pertolongan Allah. Dan inilah saat yang tepat untuk meminta kepada-Nya.”
Aku pun bangun, dan shalat sekedar yang kuinginkan, lalu aku tidur. Sedangkan istriku terus menerus shalat sendirian. Setiapkali aku terbangun, aku pun melirik kepadanya yang sedang larut dalam qiyamullail. Terkadang kulihat ia sedang ruku’, sedang sujud, sedang berdiri, sedang berdo’a, atau sedang menangis. Ia terus-terusan melakukannya, hingga terbit waktu fajar. Kemudian, ia membangunkanku;
“Waktu fajar telah tiba. Mari kita shalat bersama-sama!” ujarnya kepadaku.
Aku pun bangun, berwudhu, dan kemudian shalat berjama’ah bersamanya. Setelah itu, istriku tertidur sebentar…
Ketika matahari telah terbit, ia pun terbangun, lalu berkata: “Mari kita pergi ke kantor imigrasi!!”
Aku mengatakan kepadanya: “Untuk apa kita pergi? Mana photonya?? Bukankah kita tidak memiliki photonya!!”
Ia menjawab: “Kita akan pergi untuk berupaya lagi. Janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah.”
Kami pun pergi, dan demi Allah, tidaklah kami memasuki ruang-ruang di dalam kantor imigrasi itu, kecuali para pegawainya sungguh telah mengenali kami karena hijab yang dipakai istriku. Dan tiba-tiba, salah seorang di antara pegawai itu memanggil istriku;
“Engkau Fulanah?” tanyanya.
Istriku menjawab: “Ya.”
Pegawai itu berkata lagi: “Ambillah paspormu!”
Ternyata paspor itu telah selesai dengan sempurna, terpampang photo istriku lengkap dengan hijabnya yang hanya membuka wilayah muka. Istriku tampak begitu gembira, lalu menoleh kepadaku;
“Bukankah telah kukatakan kepadamu; Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Dia akan memberinya jalan keluar,” serunya.
Ketika kami bermaksud keluar, pegawai itu berkata kepada kami: “Kalian mesti kembali ke kota kalian yang menerbitkan paspor ini pertama kali; dan mintalah kepada mereka untuk melegalisirnya!”
Kemudian, kembalilah kami ke kota yang pertama; terlintas dalam hatiku: “Inilah kesempatan yang tepat untuk mengunjungi keluarga istriku di sana, sebelum kami pergi dari Rusia.”
Ketika sampai di kota tujuan, kami pun menyewa kamar lagi, dan segera memproses legalitas paspor istriku ke kantor imigrasi……
Insya Allah Bersambung…
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Sumber: Kitab “Innaha Malikah” Penulis: Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-’Arifi. Penerjemah: Abu Haitsam Buldan

0 komentar:

Posting Komentar